Sabtu 08 Apr 2017 10:06 WIB

Deretan Pahlawan yang Pernah Merasakan Dinginnya Penjara Bawah Tanah Museum Fatahillah

 Warga menghabiskan waktu libur hari raya Nyepi di Kawasn Museum Fatahillah, Kota Tua, Jakarta, Selasa (28/3).
Foto: Republika/Prayogi
Warga menghabiskan waktu libur hari raya Nyepi di Kawasn Museum Fatahillah, Kota Tua, Jakarta, Selasa (28/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu (@kartaraharjaucu), wartawan Republika.co.id 

Museum Sejarah Jakarta yang berada di Taman Fatahillah No. 1 menyimpan berjuta misteri yang belum terpecahkan. Kemegahan bangunan yang sudah berdiri lebih dari 370 tahun tersebut tidak kalah dibandingkan ratusan gedung yang mengepungnya. Dari sekian banyak cerita sejarah yang terkait dengan gedung yang bersebrangan dengan Stasiun Jakarta Kota tersebut, adalah penjara bawah tanahnya.

Menurut Sukarsa, staf seksi edukasi Museum Sejarah Jakarta, bangunan yang bernama Staadhuis (Balaikota), oleh masyarakat Betawi ketika itu disebut sebagai Gedung Bicara. Karena ia juga berfungsi sebagai gedung pengadilan (Raad van Justitie). Bahkan dari sini VOC mengatur kegiatannya bukan saja untuk Hindia Belanda, tapi seluruh kepentingannya di Asia Pasifik, sesuai dengan ambisi Gubernur Jenderal JP Coen ketika itu.

Sejarawan Alwi Shahab menceritakan, di Balaikota inilah Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro pernah dipenjarakan selama 1,5 bulan, sebelum ia diberangkatkan ke Sulawesi, setelah ditangkap di Magelang. Ia berkata, menyaksikan penjara yang terletak di lantai bawah gedung tersebut, hati kita dibuat bergidik.

"Penjara itu berukuran 3x6 meter, tingginya hanya 170 sentimeter. Terdapat lima ruangan penjara di situ. Untung Surapati, juga pernah meringkuk di penjara bawah tanah tersebut," kata Abah Alwi, sapaan Alwi Shahab.

Tapi, kata Abah Alwi melanjutkan, Untung Suropati berhasil melarikan diri karena dibantu kekasihnya Susanne, seorang Belanda yang berpihak kepada perjuangannya. Pahlawan wanita dari Aceh, Cut Nyak Dien, juga pernah dipenjara di sana pada tahun 1902. "Tapi penjara Cut terpisah dari tempat pria. Ada penjara khusus untuk wanita," ujar Abah Alwi.

Abah Alwi merawikan, narapidana yang dipenjara hampir tak tahu waktu. Siang dan malam, sama-sama gelap. "Kaki mereka dirantai dan rantainya diberi bola dari besi hingga sulit bergerak," ucap dia.

Di lantai atas gedung ini, juga terdapat ruang penyiksaan. Karena itulah, ketika pasukan Mataram pada awal abad ke-17 menyerbu Jakarta, gedung yang merupakan lambang kekejaman kolonialisme Belanda ini mendapat gempuran yang hebat dari tentara Mataram.

"Pada 8 Oktober 1740, ketika terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Jakarta, di gedung ini dijebloskan sekitar 500 tawanan Cina. Hanya dua hari setelah ditahan, Gubernur Jenderal Belanda Vaickenier memerintahkan untuk membunuh mereka semua. Di samping itu, dia juga memerintahakan membunuh ribuan penduduk Cina yang ditahan di rumah sakit. Pada peristiwa itu, tidak kurang dari 10 ribu orang Cina terbunuh," kata pria berusia 80 tahun tersebut memaparkan.

Karena itulah, di Jakarta Kota hingga sekarang ada daerah Angke. Nama Angke berasal dari bahasa Cina. Ang artinya darah dan ke bangkai. Ribuan Cina yang terbunuh itu, mayatnya bergelimpangan di mana-mana, di antaranya hanyut di kali, yang oleh penduduknya juga dinamakan Kali Angke. "Sejarah gedung itu makin penting lagi, karena pada bulan Agustus 1816 ketika terjadi pemindahan kekuasaan dari Inggris ke Belanda, serah terimanya dilakukan di gedung itu pula," ucap dia.

Sebelum ada kereta api dan mobil, dari tempat inilah penduduk Jakarta menyewa kereta yang ditarik empat ekor kuda ke kota apabila mereka ingin ke Bogor. Perjalanan ke Bogor yang jaraknya sekitar 60 km itu ditempuh sekitar 16 jam.

"Di sekitar Balaikota, terdapat belasan gedung yang dibangun pada waktu yang hampir bersamaan. Di antaranya kini dijadikan Museum Wayang, yang dahulunya merupakan sebuah gereja tua. Di tempat inilah JP Coen dimakamkan," kata Abah Alwi.

Sementara sebelah kanan Balai Kota terdapat Balai Seni Rupa dan Museum Keramik, yang dahulunya merupakan gedung kehakiman, yang pernah digunakan sebagai gedung wali kota Jakarta Barat. Agak pinggir dari pusat kota, terdapat sejumlah masjid yang usianya hampir bersamaan dengan kota Jakarta. Masjid-masjid tersebut oleh Pemda DKI juga dilestarikan dan kini berada di bawah Dinas Museum dan Sejarah DKI.

Sekitar 300 meter ke selatan, terdapat daerah Glodok, yang hingga kini masih merupakan pusat perdagangan dan pertokoan terbesar di Jakarta, seperti ketika berdirinya kawasan ini hampir 300 tahun lalu. Etnis Cina pada abad ke-18, menurut Dinas Museum dan Sejarah Pemda DKI, mencapai 16 persen dari seluruh penduduk Jakarta. Karena itulah sejak dulu Glodok dan sekitarnya dikenal sebagai China Town.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement