Sabtu 19 Aug 2017 13:07 WIB
HUT Bung Hatta

Hatta Kritik Sukarno, Soeharto Batasi Gerak Hatta

Sukarno dan Mohammad Hatta
Foto: IST
Sukarno dan Mohammad Hatta

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa, Wartawan Republika.co.id

Sejak pecahnya dwitunggal, Mohammad Hatta rutin mengkritik Sukarno. Kritikan kepada Bung Karno pun cukup keras selama Orde Lama. Namun, pascalengsernya Sukarno dari kursi presiden dan diganti Orde Baru, Hatta cenderung melunak.

Prof Taufik Abdullah, sejarawan senior berambut putih dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada Republika.co.id, mengatakan ketika zaman Bung Karno, Bung Hatta sering berkirim surat kepada Bung Karno. Kadang-kadang tidak perlu membaca isinya, melainkan hanya judulnya untuk menilai.

"Kalau Bung Hatta menulis 'Paduka Yang Mulia (PYM) Presiden Republik Indonesia', itu berarti Bung Hatta mengkritik keras Soekarno. Kalau Bung Hatta menulis 'Saudara Karno' atau 'Bung Karno', itu berarti persahabatan. Dengan PYM kan berarti kita tidak dekat, jauh. Paduka kan berarti Anda sudah di sana, sedangkan saya di sini," kata Taufik menjawab pertanyaan Republika.co.id.

Pria kelahiran Bukittinggi, 3 Januari 1936 itu melanjutkan, "Di dalam artikel Demokrasi Kita, Bung Hatta menulis: 'Saya (Bung Hatta) bandingkan dia (Soekarno) dengan Mephistopheles dalam hikayat Goethe’s Faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah ‘ein Teil jener Krafte, die stets das Bose will und stets das Gute shaaf’—satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik—Soekarno adalah kebalikannya dari gambaran itu. Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerap kali menjauhkan dia dari tujuannya itu'. Itu kritik keras tetapi sopan sekali."

Saat Suharto memimpin, ia melarang Bung Hatta mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia. Menurut Taufik Soeharto melarang semua partai.

"Untuk apa yang baru dibiarkan? Apalagi, di bawah Hatta. Nanti jadi saingannya Soeharto. Walaupun Bung Hatta sudah tua. Jadi, masuk akal juga. Namun, banyak orang kecewa waktu itu."

"Sebenarnya, Bung Hatta ikut upaya partai yang Islam itu kontroversial juga. Banyak juga tokoh-tokoh Masyumi lama yang keberatan. Mengapa tidak partai Masyumi saja yang dihidupkan kembali? Mengapa membuat baru? Banyak tokoh Islam yang keberatan," kata Taufik memaparkan.

Yang bekas Masyumi, kata Taufik, dibolehkan mendirikan Parmusi (Persatuan Muslim Indonesia) pada 1968. Namun, kecil betul suaranya. "Jadi, kalau di bawah Hatta, segan juga Soeharto. Soeharto kan pintar juga. Jadi, dia jaga mana yang bisa dia kendalikan. Kalau Bung Hatta, tidak bisa dia mengendalikannya."

Ketika ditanya Bung Hatta tumbuh di suasana awal abad ke-20 dan kini awal abad ke-21. Seperti apa makna yang bisa menjembataninya? Taufik menjawab, "Sederhana saja. Negara ini kan didirikan atas darah, perjuangan, dan air mata. Siapa pemimpinnya? Jangan lupa!"

Di akhir wawancara, Republika.co.id meminta pendapat Taufik bagaimana idealnya generasi muda di era internet kini memandang Bung Hatta. "Pertama," kata Taufik, "Soekarno dan Hatta adalah pendiri Republik Indonesia. Mereka adalah dua orang yang disebut Dwitunggal. Dan juga, Bung Hatta itu adalah sosok pahlawan pergerakan nasional. Dan juga, ini penting: sejak mulai Soekarno-Hatta tampil, Hatta sudah dianggap sebagai wakil dari luar Jawa. Jadi, waktu Hatta meletakkan jabatan, rakyat luar Jawa—entah itu Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Irian, dan lain-lain—merasa. Karena itu, banyak orang dari luar Jawa yang agak anti terhadap Soekarno waktu itu. Sekarang tidak lagi."

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement