Selasa 16 Jan 2018 17:35 WIB

Museum Bahari Saksi Sejarah Kejayaan Batavia

Rep: Amri Amrullah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Museum Bahari
Foto: Wikipedia
Museum Bahari

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Salah satu bangunan penting identitas Bahari Batavia, Museum Bahari Jakarta di Jalan Pasar Ikan, Penjaringan Jakarta Utara terbakar pada Selasa (16/1) pagi. Kebakaran tersebut membakar bangunan di area Gedung A Blok 1 dan 2 dan Gedung C Blok 1 dan 2. Kepala Museum Bahari Husni Sonizar mengatakan area gedung yang terbakar di museum bahari penyimpanan benda-benda bersejarah di bidang bahari.

Diantaranya koleksi benda-benda Angkatan laut, diorama tentang sejarah dan tokoh-tokoh kelautan internasional dan gudang lantai satu yang berisi alat-alat navigasi laut dan miniatur perahu. Sonizar mengaku kondisi bangunan dan instalasi listrik yang cukup tua membuat bagian gedung mudah terbakar karena korsleting listrik. Maklum usia bangunan telah mencapai 300 tahun.

Padahal sebagai satu-satunya situs maritim bersejarah di Ibukota, Museum Bahari seharusnya menjadi perhatian penting pemerintah DKI Jakarta. Karena di dalam museum ini telah menyimpan banyak koleksi penting perjalanan dunia kemaritiman. Selain itu bangunan museum merupakan sejarah panjang perdagangan rempah dan hasil bumi Nusantara pada zaman VOC.

Komplek gudang rempah milik VOC yang kini menjadi Museum Bahari ini dibangun VOC pada 1652 hingga rampung pada 1759. Bangunan gedung dibangun di muara Sungai Ciliwung yang pada saat dahulu difungsikan sebagai jalur kapal sebelum berlayar ke lautan lepas. Area gudang yang dibangun oleh VOC ini terdiri dari dua bagian, Westzijdsche Pakhuizen bagian barat yang dibangun sejak 1652 hingga 1771 dan Oostzijdsche Pakhuizen yang dikenal bagian timur.

Di bagian timur gedung yang kini dikenal sebagai bagian utama Museum Bahari. Dahulu kedua bangunan gedung, juga gudang digunakan untuk menyimpan rempah dari berbagai daerah di Nusantara, sebelum dikirim ke Eropa dan Asia. Diantara komoditas utamanya seperti Pala, Lada, Tembakau, Kayu Manis, Cengkeh, Kopi dan Teh.

Selain bangunan gudang induk tak jauh dari situ terdapat juga kantor dagang, sebagai administratif. Bangunan menara berlantai tiga yang kini dikenal dengan nama Menara Syahbandar. Bangunan ini dibangun pada 1839 menempati bekas Bastion (kubu) Culemborg. Bastion itu dibuat dari batu karang pada 1645, merupakan kubu pertahanan. Bangunan Menara Syahbandar ini dahulu dikenal sebagai Uitkijk atau Uitkijk Post.

Menara ini bagian dari tembok keliling Kota Batavia untuk ikut menjaga mulut Sungai Ciliwung. Memantau kapal yang keluar-masuk Batavia dan sebagai kantor pemungut cukai bagi barang-barang yang dibongkar di pelabuhan Sunda Kelapa dan memantau area gudang rempah dan area galangan kapal. Namun setelah pelabuhan Tanjung Priok dibuka oleh pemerintah Belanda, bangunan inipun tak lagi difungsikan sebagai menara pengawas sejak 1886.

Menara ini sempat menjadi pusat 0 kilometer kota Batavia. Ini ditandai dengan lempengan batu bertulis huruf Tiongkok penanda 0 kilometer kota Batavia saat itu. Pada masa kependudukan Jepang 1939-1945, area gudang dan menara difungsikan tentara Nippon sebagai komplek pusat penyimpanan logistik peralatan militer.

Kini setelah tak lagi berfungsi sebagai menara syahbandar, menara setinggi 12 meter ini, juga dikenal sebagai menara miring. Ini karena posisi bangunan menara terlihat semakin miring. Area menara yang berjarak 50 meter dari komplek gudang rempah VOC yang kini sebagai Musem Bahari bukti bisu sejarah kejayaan kota bandar perdagangan rempah Batavia.

Setelah kompleks gedung ini difungsikan sebagai Museum Bahari oleh pemerintah DKI Jakarta pada 1977, bangunan tua ini minim perawatan. Padahal di dalamnya menyimpan ribuan koleksi sejarah bahari dan kemaritiman nusantara, serta ratusan diorama penting perjalanan maritim dunia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement