REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tanggal 1 Mei kerap diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. May Day—demikian nama populernya—bahkan menjadi hari libur di Indonesia sejak 2014 lalu. Hal itu menandakan besarnya pengaruh kaum buruh, setidaknya dalam konteks perekonomian bangsa dan negara.
Sejarah peringatan Hari Buruh tak lepas dari pelbagai gerakan yang menentang eksploitasi atas kaum pekerja. Namun, istilah May Day tidak seketika merujuk pada ihwal demikian. Cerita tentangnya merentang sejak abad pertengahan di Benua Eropa.
Merujuk Encyclopedia Britannica, May Day dirayakan penduduk Eropa sejak masa silam. Itulah momentum untuk mereka menyambut musim semi. Perayaan itu pada mulanya adalah ritual kaum tani di Yunani Kuno dan Romawi Kuno.
Tiap 1 Mei, masyarakat setempat menggelar pelbagai festival. Orang-orang menari dan bernyanyi. Sebagian mereka merangkai bunga-bunga liar serta tetumbuhan hijau untuk dijadikan hiasan yang indah.
Pasangan muda-mudi ditunjuk sebagai raja dan ratu sehari. Mereka meyakini, dengan segala kemeriahan itu, dewa-dewi akan menganugerahkan kesuburan bagi tanah tempat bercocok-tanam. Ada pula pelbagai mitos masyarakat kuno tersebut. Misalnya, siapapun yang mengusap wajah dengan air embun pagi hari tanggal 1 Mei akan selalu awet muda.
Menjadi Hari Buruh
Memasuki abad modern, kepercayaan kuno demikian mulai ditinggalkan. Masyarakat Puritan di Eropa Barat menilai perayaan May Day tak ubahnya kebiasaan kaum pagan. Karena itu, mereka melarangnya. Dalam kebudayaan Amerika hingga abad ke-18, May Day dalam pemahaman tradisional juga tak dianggap signifikan.
Memasuki abad ke-20, May Day mengalami perubahan makna yang cukup drastis. Hari itu tak lagi dikenang sebagai perayaan khas pagan-feodal. Tanggal 1 Mei menjadi penuh nuansa pergerakan buruh.
Kapitalisme global terus menguat sejak lahirnya Revolusi Industri pada pertengahan abad ke-18. Dimulai dari Inggris, pengaruh kapitalisme terus menyeruak ke Eropa Daratan, Amerika, dan pada akhirnya mondial.
Mulai muncul pembedaan kelas sosial, yakni kaum kapitalis/pemodal dan buruh. Pergerakan sosialis menghendaki kaum buruh bebas dari penindasan. Pelbagai organisasi sosialis bermunculan pada paruh kedua abad ke-19, baik yang berupa partai politik maupun kelompok sipil. Artinya, aspirasi kaum buruh disuarakan, baik di parlemen maupun jalanan.
Selain kaum sosialis, ada pula kaum anarkis yang menghendaki penghapusan semua struktur hierarkis. Mereka juga ingin agar kaum buruh mengendalikan industri—bukan sebaliknya.
Bermula dari Chicago
Pada 1884, Federasi Organasi Buruh (belakangan jadi Federasi Buruh Amerika) mengadakan kongres nasional di Chicago. Hasil rapat akbar ini menyepakati tuntutan, “waktu kerja buruh harus dibatasi hingga delapan jam sehari.”
Para tokoh federasi itu mendesak agar keinginan mereka diwujudkan paling lambat sejak 1 Mei 1886.
Maka pada 1 Mei 1886, lebih dari 300 ribu pekerja yang berasal dari 13 ribu perusahaan seluruh Amerika Serikat melakukan mogok massal. Inilah tonggak sejarah Hari Buruh Internasional. Tuntutan “Kerja Delapan Jam Sehari” terus disuarakan massa aksi.
Dua hari kemudian, aksi massa berubah menjadi kekacauan. Pada 4 Mei 1886, polisi mulai membubarkan paksa demonstran. Oknum-oknum yang tak bertanggung jawab lantas melemparkan bom molotov, sehingga memicu kerusuhan. Sebanyak delapan orang menjadi korban jiwa, puluhan orang luka-luka.
Belakangan, sejumlah pemimpin organisasi buruh dihadapkan ke meja hijau. Empat di antaranya dijatuhi hukuman gantung. Kejadian itu secara keseluruhan dikenang sebagai Kerusuhan Haymarket. Hingga kini, siapa yang bersalah masih menjadi kontroversi.