27 Juni 1970 menjadi hari berkabung nasional rakyat Indonesia. Di hari itu, Presiden pertama RI Sukarno meninggal dunia.
Kesehatan Sukarno sudah mulai menurun sejak Agustus 1965. Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.
Prof Dr K Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Sukarno diangkat. Namun, pembaca naskah proklamasi itu menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.
Sukarno masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada Ahad, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik.
Jenazah Presiden RI Sukarno ketika disemayamkan di Wisma Yaso
Jenazah Sukarno lalu dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki istrinya Ratna Sari Dewi. Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Sukarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan. Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani Ketua Prof Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.
Walaupun Sukarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Sukarno. Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.
Jenazah Sukarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Sukarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara. Pemerintah menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.