REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Kabinet Kerja baru saja mengalami perombakan. Istilah kerennya reshuffle. Setidaknya 12 pos menteri dan kepala setingkat menteri dirombak Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sejatinya pergantian posisi menteri sebagai pembantu presiden adalah hal biasa, seperti yang pernah dilakukan di era Presiden Soeharto dan Presiden SBY. Mari kita tengok cerita sejumlah orang yang dipanggil Pak Harto ke Cendana atau diminta datang ke Cikeas, rumahnya SBY saat isu reshuffle kencang berhembus.
Pada 1970-an, Indonesia menjadi negara eksportir sapi yang diperhitungkan. Tapi, entah bagaimana sekarang ini Indonesia menjadi negara importir sapi. Ditjen Peternakan memprediksikan impor sapi bakal melebihi 1,2 juta ekor atau 180 ribu ton daging sapi murni. Tak heran kalau rumah-rumah makan besar menawarkan steak dengan daging sapi impor.
Karena kala itu sapi-sapi hidup banyak dijual di pasar-pasar, sampai ada istilah ‘politik dagang sapi’. Istilah ini populer sekali saat-saat pembentukan maupun reshuffle kabinet. Terutama terjadi pada saat-saat demokrasi parlementer (1950-1959), saat parpol-parpol saling rebutan kursi. Pada era demokrasi terpimpin dan kemudian dilanjutkan pada masa orde baru, ‘politik dagang sapi’ boleh dikatakan menghilang. Kabinet terbentuk sepenuhnya ditangani presiden.
Ketika Presiden SBY ingin melakukan perombakan kabinetnya, dia dengan tegas menyatakan tidak ada yang bisa melakukan tekanan kepadanya. Sekalipun sejumlah parpol mengancam akan menarik dukungan kepada pemerintahannya, bila menteri mereka ditarik atau tidak didudukkan lagi dalam kabinet.
Sekalipun SBY tegas menyatakan enggan melayani tekanan walaupun senjata ditodongkan kepadanya, tapi melihat hasil reshuffle yang diumumkan awal pekan ini tidak tertutup kemungkinan dia juga melakukan kompromi dengan sejumlah parpol.