REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Pada 21 Juni 1970, Presiden pertama RI wafat dalam usia 69 tahun. Sungguh tragis, orang yang sejak muda tidak pernah absen berjuang untuk negaranya, meninggal dalam kesepian. Hanya tiga tahun, setelah SI MPRS bulan Maret 1967 mencabut kekuasaannya sebagai Presiden. Padahal, majelis tertinggi negara ini juga yang telah mengangkatnya sebagai presiden seumur hidup pada 1963 dan berbagai gelar lainnya.
Bung Karno, yang pada SI MPRS 1967 juga dilarang melakukan kegiatan politik, boleh dikata mulai saat itu hidup seperti layaknya seorang tahanan. Hampir tidak ada lagi kawan-kawannya yang dapat menemuinya, karena ia memang sulit untuk ditemui tanpa izin terlebih dulu. Tidak terkecuali mantan wakil presiden, Bung Hatta.
Saat hendak menjenguknya di RSPAD, Hatta harus meminta izin dulu kepada Pak Harto melalui Jenderal Tjokropranoto, sekretaris militer Presiden. Demikian terisolirnya Bung Karno, hingga ia dilarang menerima surat-surat pribadi secara langsung. Tanpa disensor lebih dulu.
Berita-berita tentang dirawatnya Bung Karno di RSPAD Gatot Subroto, dalam keadaan gawat, lima hari sebelum wafatnya, mengejutkan masyarakat karena boleh dibilang hampir tidak ada kegiatan Bung Karno yang diberitakan media massa. Kecuali, secara luas diketahui Bung Karno cukup lama 'dirawat' di Wisma Yaso (kini Musem Mandala) Jl Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
Menjelang wafatnya Bung Karno, Aspri Presiden Jenderal Ali Moertopo melapor pada Pak Harto di Bina Graha. Menjawab pers, entah dengan alasan apa Ali Moertopo menyatakan: "Saya tidak regret (menyesal) bila Bung Karno meninggal dunia."
Setelah Bung Karno meninggal dunia, Pak Ali di hadapan para pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI) membantah ia membuat pernyataan seperti yang disiarkan pers. Ia menyalahkan pers Istana dalam kasus berita tentang Bung Karno ini. Padahal, saya dan belasan wartawan lainnya, dengan jelas mendengar pernyataannya itu. Beberapa tahun lalu, ketika para wartawan senior yang pernah bertugas di Istana mengadakan 'reuni', seorang reporter RRI mengaku sampai kini masih memiliki tape yang memuat pernyataan Pak Ali Moertopo itu.