REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shihab
Menjelang Perang Dunia II (1942), Batavia, nama kota Jakarta pada masa Belanda, barulah berpenduduk 900 ribu jiwa. Pada awal 1950-an, setelah penyerahan kemerdekaan, terjadi urbanisasi besar-besaran ke Jakarta, akibat pemberontakan DI/TII. Banyak penduduk Jawa Barat khususnya Priangan Timur berbondong-bondong mengungsi ke Jakarta.
Hal yang sama juga dilakukan beberapa warga dari Jawa Tengah. Karenanya, pada masa Wali Kota Soediro (1950-an), Jakarta menjadi wilayah utama sasaran program transmigrasi. Sejauh ini, program transmigrasi dari Jakarta tidak pernah berhasil.
Warga Betawi yang kala itu masih merupakan mayoritas tidak berminat jadi transmigran. Karenanya, Bang Inang jadi sewot ketika si Doel anak semata wayangnya ingin menjadi transmigran ke Sumatra. “Ngapain lu ke utan. Mau dimakan macan, atawe diinjek gajeh,” bang Inang ngedumel dengan muka cemberut.
Rasa tidak ingin merantau, memang sifat turun-temurun orang Betawi. ‘Makan tidak makan ngumpul’. Begitulah prinsip orang Betawi. Penyebabnya, sejak Hindia Belanda, Jakarta sudah jadi pusat pemerintahan. Segala sarana dan prasarana tersedia.