Sabtu 24 Dec 2016 10:21 WIB

Romusha dan Fujingkau, Bukti Kekejaman Jepang di Indonesia

Romusha
Romusha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

PM Jepang Junichiro Koizami menyampaikan permintaan maaf yang mendalam atas kekejaman balatentaranya pada Perang Dunia II (1942-1945) yang mengakibatkan penderitaan rakyat di kawasan Asia. Permintaan maaf tersebut disampaikan saat bertemu Presiden RRC Hu Jintao di sela-sela KTT Asean 2005 di Jakarta.

Tampaknya, permintaan maaf itu tidak hanya ditujukan pada Cina dan Korea Selatan, tapi juga negara Asia termasuk Indonesia yang diduduki Jepang saat PD II. Akibat penjajahan Jepang selama tiga setengah tahun rakyat Indonesia mengalami penderitaan luar biasa.

Hubungan Jepang dengan Cina dan Korsel akhir-akhir ini memburuk. Pasalnya Jepang dianggap tidak jujur dengan menghilangkan kekejamaan militernya pada mata pelajaran di sekolah-sekolah saat menduduki kedua negara itu. Demo-demo anti Jepang pun marak di kedua negara. Sejauh ini Korea Utara tidak mengajukan protes. Padahal ketika Jepang berkuasa di semenanjung Korea, kedua Korea (Utara dan Selatan) masih bersatu. Mereka baru terpisah setelah Perang Korea awal 1950-an.

Pada awal PD II Belanda dan sekutu-sekutunya tidak mampu menahan Blitzkrieg atau perang kilat Jepang yang prajuritnya bersemangat sangat tinggi. Dalam waktu tiga bulan, Inggris di Malaysia dan Birma (kini Myanmar), AS di Filipina, dan Belanda di Indonesia, bertekuk lutut pada Dai Nippon.

Di Indonesia Jepang mendarat di Banten 5 Maret 1942 dan Belanda hanya dalam waktu singkat menyerah tanpa syarat. Kedatangan Jepang di Indonesia mula-mula dielu-elukan karena mereka berjanji akan membebaskan dan memberi kemerdekaan. Jepang menyebutkan dirinya sebagai 'saudara tua'. Waktu itu tinggi badan orang Jepang lebih pendek dari

kebanyakan orang Indonesia, sehingga mereka disebut bangsa kate.

Hanya di awal pendudukan, Jepang bersikap baik. Setelah itu mereka sangat kejam. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan menghilang dari pasaran. Karena sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana terbuat dari karung goni. Sedangkan wanita menggunakan kain dari karet yang panas menempel di tubuh. Hanya orang berada yang memiliki baju seadanya.

Yang paling menyedihkan, rakyat sulit mendapat obat-obatan. Termasuk di rumah-rumah sakit. Mereka yang menderita koreng dan jumlahnya banyak sekali, sulit mendapatkan salep. Terpaksa uang gobengan di gecek dan ditemplok ke tempat yang sakit sebagai ganti perban.

Sepeda kala itu bannya terbuat dari karet, atau 'ban mati'. Di sekolah-sekolah buku tulis terbuat dari kertas merang. Potlot dari arang, hingga sulit sekali menulis. Masa itu, banyak orang berebut makanan bekas di bak-bak sampah. Bila ada mayat di jalan tidak lagi mengagetkan.

Jepang mengajarkan rakyat makan bekicot yang oleh orang Betawi disebut 'kiong racun'. Radio yang hanya dimiliki beberapa gelintir orang disegel. Hanya boleh mendengarkan siaran pemerintah Dai Nippon. Ketahuan menyetel siaran luar negeri dapat hukuman berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi militer Jepang.

Pada malam hari sering kali terdengar sirene kuso keho sebagai pertanda bahaya serangan udara dari tentara sekutu. Rakyat pun setelah memadamkan lampu cepat-cepat pergi ke tempat perlindungan. Di halaman rumah-rumah kala itu digali lobang untuk empat atau lima orang bila terdengar sirene bahaya udara.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement