Senin 13 Mar 2017 07:00 WIB
Surat Perintah Sebelas Maret

Supersemar di Antara Pembubaran Masyumi dan PKI

Partai Masyumi.
Partai Masyumi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Pada 1955, ketika untuk pertama kali berlangsung pemilihan umum, usia saya 19 tahun dan ikut memilih. Pendaftaran peserta dilakukan melalui ketua RT/RW yang mendatangi kediaman calon pemilih.

Waktu itu, persaingan didominasi empat parpol, Masyumi, PNI, NU, dan PKI. Keluarga saya terbagi dua, NU dan Masyumi. Kelompok tradisional umumnya simpatisan NU yang kala itu baru menjadi parpol setelah keluar dari Masyumi. Bagi kami yang muda, umumnya menjadi simpatisan Masyumi.

Tokoh Masyumi yang menonjol ketika itu adalah HM Natsir yang merupakan ketua umum dan KH Isya Anshari yang dijuluki “singa mimbar”. Sebagai anak muda, kami tertarik akan kepribadiannya yang jujur dan bersahaja. Seingat saya, dia pernah kampanye ke Kampung Kwitang menggunakan becak.

Dalam masa pemerintahan Sukarno, dia pernah dipenjarakan dan Partai Masyumi dibubarkan. Tapi, itu hanya sebatas soal politik karena dia berseberangan dengan Bung Karno. Dia dan para tokoh politik Masyumi lainnya tidak pernah terlibat kasus korupsi, kriminal, dan perbuatan asusila. Perilaku bersih ini seharusnya menjadi teladan bagi partai-partai politik masa kini, khususnya yang menyandang nama Islam.

Akhir-akhir ini, kita menjadi sangat prihatin dengan terjadinya kasus berbagai penyelewengan, lebih-lebih menyangkut soal moralitas yang setiap hari disiarkan oleh pers, khususnya infotaiment. Termasuk hasil korupsi mengalir ke sejumlah perempuan.

Nama-nama perempuan yang juga menampilkan tampang sosok tersebut disiarkan tanpa ditutup-tutupi beserta profesinya masing-masing. Beberapa di antaranya telah membantah, bahkan telah mengembalikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) “upeti” yang mereka terima dari tokoh muda yang kerahimannya kelewat batas. Karena, hadiah yang para wanita cantik ini terima bukan saja uang, melainkan juga kendaraan dan rumah. “Kerahiman” semacam ini juga terjadi pada kasus korupsi lainnya yang rela untuk memberikan hadiah yang “aduhai” kepada lawan jenisnya.

Peristiwa semacam ini juga pernah terjadi tidak lama setelah tumbangnya pemerintahan Presiden Sukarno, beberapa saat setelah keluarnya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966). Setelah membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, Pak Harto menangkap 15 orang menteri kabinet (istilahnya pengamanan) yang ia identifikasikan terlibat G30S atau penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang. Di antara menteri yang diamankan, termasuk Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam dengan alasan untuk melindungi mereka dari amarah rakyat.

Seperti kasus wanita cantik sekarang ini, proses pengadilan Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam pada April 1966 adalah salah satu bagian drama politik yang paling banyak mendapat perhatian dari media dan masyrakat luas. Kalau digambarkan pada masa sekarang, peradilan Jusuf Muda Dalam pada masa itu adalah pengadilan selebritas yang melibatkan sejumlah istri muda dan wanita-wanita terkenal teman menteri Urusan Bank Sentral, media menyebutnya “nona-nona manis”, sebagai saksi dalam persidangan.

Waktu itu, dalam sidang terungkap beberapa wanita yang “dekat” dengan Jusuf Muda Dalam yang tidak perlu disebutkan sekarang ini karena di antaranya ada yang masih hidup. Dia juga dikabarkan memiliki istri lebih dari empat orang yang tidak dibenarkan dalam agama. Dalam sidang yang berlangsung di gedung Bappenas (Taman Surapati), dia dituntut hukuman mati. Tapi, sejauh ini dia tidak pernah dieksekusi. Untuk kasusnya tersebut, didatangkan 175 saksi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement