Ahad 26 Mar 2017 07:00 WIB

Fatahillah Bikin Portugis Lari Terbirit-birit

Pelabuhan lama Sunda Kalapa 1860-an.
Foto: Batavia.
Pelabuhan lama Sunda Kalapa 1860-an.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Di Museum Sejarah Jakarta hampir tidak didapati bahan-bahan awal berdirinya Jayakarta pada 1482. Hampir seluruhnya didominasi sejarah peninggalan VOC. Karenanya, museum yang pada masa VOC berfungsi sebagai Balaikota (Stadhuis) Batavia itu pantas disebut Museum VOC.

Karena itu, tidak heran jika kita hanya menduga-duga di mana tepatnya dulu Keraton Jayakarta dan tempat Fatahillah mengusir Portugis di Teluk Jakarta. H Misbach Yusa Biran ketika menggarap film Fatahilah mengalami kesulitan mencari sosok pemain yang wajahnya mirip pendiri kota Jayakarta itu. Dia memutuskan mencari orang berwajah ke Arab-araban, karena menurut catatan Fatahillah berasal dari Persia.

Bukan hanya itu, hari kelahiran kota Jakarta, 22 Juni 1527, juga diperdebatkan. Dua orang profesor pernah bertarung mengenai penetapan tanggal tersebut. Yang pertama kali menetapkan 1527 sebagai tahun kelahiran Jayakarta adalah almarhum Prof Dr PA Hussein Djajaningrat dalam disertasinya berjudul Critische Beschouwaring van den Sejarah Banten yang dipertahankan di Universitas Leiden, Belanda. Namun yang menentukan 22 Juni 1527 sebagai hari lahir Jayakarta adalah Prof Dr Sukanto.

Dalam disertasinya Prof Husein Djajaningrat menyatakan Jayakarta diartikan volbrachtezege (kemenangan yang selesai) setelah bandar ini direbut dari Kerajaan Pajajaran dan sekaligus mengusir Portugis. Pajajaran merupakan kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa pada waktu itu. Sedangkan Fatahillah adalah ipar Sultan Demak, Tranggono, yang dipercaya memimpin gerakan tentara ekspedisi ke Jawa Barat.

Kalau disimpulkan, kelahiran Jayakarta merupakan pembenturan tiga kekuatan waktu itu. Yakni Kesultanan Demak, Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Portugis yang sudah punya pancangan kaki di Malaka sejak 1511, yaitu sejak negara di Eropa selatan ini merebut kota itu dari tangan orang Melayu.

Menurut Mr Hamid Algadri, saat Pajajaran yang Hindu mengadakan perjanjian persahabatan dan perdagangan dengan Portugis, masih dalam suasana Perang Salib. Kedatangan Portugis dalam kaitan Perang Salib untuk memotong perdagangan orang Arab yang telah datang ke Nusantara sejak pra Islam.

Kedatangan Portugis, yang kemudian disusul oleh Belanda, menurut Algadri, merupakan kelangsungan perang melawan Islam di Spanyol dan Timur Tengah. Hal ini disebabkan adanya rute perdagangan yang sejak berabad-abad menghubungkan Kepulauan Indonesia dengan negeri-negeri di sekitar Laut Merah dan Teluk Parsi.

Rute perdagangan itu tidak saja ke Kepulauan Indonesia tetapi terus melanjut ke negeri Cina. Rute perdagangan tersebut memberi banyak keuntungan bagi para pedagang Islam, termasuk di dalamnya pedagang Arab, dan mengakibatkan kemakmuran di negeri sekitar Teluk Parsi dan Laut Merah.

D’ Albuquerque, gubernur Portugis di Malaka, pernah berpidato di depan pasukannya di Malaka, bahwa dengan memandulkan orang-orang Moor (Islam dan Arab) dari perdagangan rempah-rempah, orang Portugis berharap menyerap kekuatan Islam.

Hasilnya, pihak Portugis kecewa berat. Setelah mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Pajajaran, Francius da Silva, panglima armada Portugis saat akan mendarat di Teluk Jakarta menduga akan disambut dengan meriah oleh pejabat-pejabat Pajajaran yang bertugas di Sunda Kalapa. Ternyata mereka disambut dengan senjata oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Fatahillah. Armada Portugis berhasil dipukul mundur hingga melarikan diri kembali ke Malaka.

Kembali mengenai penentuan HUT Jakarta, Prof Dr Mr Sukanto, guru besar sejarah pada Fakultas Kedokteran UI, menulis sebuah risalah berjudul Dari Djajakarta ke Djakarta. Dia mencoba melengkapi tahun kelahiran Jayakarta dengan tanggal dan bulannya.

Fatahillah mengutip Alquran untuk kemenangan tersebut dengan ayat ‘Inna fatahna laka fatham mubinah’ (Sesungguhnya aku telah memberikan kemenangan yang jelas). Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menaklukkan Kota Mekah dari kaum Quraisy.

Prof Husein Djajaningrat mengaitkan saat Fatahillah mengusir armada Portugis dengan hari besar Islam, yakni hari peringatan Maulid Nabi, 12 Rabiul Awal, yang jatuh pada 1 Juni 1527.

 

Menurut sejarawan Adolf Heyken SJ, hari jadi Jakarta hanyalah sebuah dogeng. Karena, katanya, tak ada dokumen yang menyebutkan nama Jayakarta. Bahkan 50 tahun sesudahnya (saat VOC berkuasa), tetap disebut Sunda Kalapa.

”Fatahillah orang Arab, jelaslah tidak mungkin apabila orang Arab memberi nama sesuatu dengan bahasa sansekerta dan Jayakarta adalah nama sanksekerta. Jadi itu semua dongeng supaya Jakarta memiliki hari ulang tahun.”

Meskipun demikian, Heyken mengatakan ia tidak antidongeng. "Yang penting kita harus jujur dongeng adalah dongeng dan dongeng berbeda dengan sejarah” (Majalah Figur). Dia menyebutkan asal nama kota Roma, ibu kota Italia, yang diambil dari sebuah dongeng terkenal yaitu dongeng Romus dan Romulus.

Prof Sukanto menduga hari lahir kota Jayakarta (Jakarta) 22 Juni 1527 pada saat peringatan maulid Nabi. Pendapat ini diterima oleh Pemda DKI Jakarta Raya sebagai hari lahir resmi kota Jakarta. HUT Jakarta ini baru dirayakan sejak 1957 pada masa Wali Kota Sudiro.

Yang jelas, nama Jakarta ditetapkan Jepang pada 8 Desember 1942. Mulai saat itu pemerintahan militer Jepang melarang digunakan nama Batavia untuk Jakarta.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement