REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Bakso, siomay, dan mi merupakan makanan sehari-hari masyarakat. Tidak terhitung banyaknya pedagang keliling yang menjajakan makanan tersebut. Contohnya, mi yang sudah dikemas dan diproduksi puluhan pabrik sudah jadi menu sarapan pagi menyaingi nasi dan roti. Padahal, bakso, siomay, dan bakpau baru menjadi makanan sehari-hari masyarakat belum begitu lama. Kira-kira baru pertengahan 1960-an. Sebelumnya dianggap makanan haram karena berisi daging babi.
Karena itu, tidak mengherankan pedagang yang kebanyakan etnis Cina ini tidak berani keliling kampung-kampung. Bisa-bisa ditimpukin. Lebih-lebih, di kampung-kampung yang banyak warga Betawinya.
Tidak terhitung banyaknya kata bahasa Cina yang menjadi perbendaharaan bahasa Melayu (Betawi). Sin Po, harian yang dikelola orang Cina di Jakarta, pada 26 Oktober 1940 mengungkapkan sejumlah kata Cina. Yang terbanyak adalah nama makanan.
Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa teh, kecap, juhi, kue, lobak, kucai, lengkeng, tengteng, kwaci, bahkan tahu berasal dari kata Cina. Soto yang identik dengan makanan Betawi juga berasal dari bahasa Cina. Di samping bakso, siomay, dan bakpau, ada juga capcai, bahcang, tongseng, puyunghai, dan masih banyak lagi.
Bukan hanya dalam makanan, bahkan kata-kata lu dan gue yang menjadi bahasa pergaulan di kalangan remaja dan selebriti juga berasal dari bahasa Cina. Hampir dipastikan generasi sekarang ini sudah tidak ada lagi yang mengenal kata bongtahay. Ini dapat dimaklumi karena sekarang ini begitu mudahnya didapat obat antibiotik sehingga orang yang sakit kerongkongan atau infeksi tidak perlu lagi meminum bongtahay.
Botonghay adalah akar-akaran yang bila direndam dengan air langsung mekar. Akar-akaran ini dulu sangat manjur untuk penyakit radang tenggorokan atau sariawan, di samping untuk berbagai penyakit panas dalam. Karena itu, sampai 1950-an ada peribasa orang Jakarta: Lagu lu kayak bongtahay, enggak boleh direndam, langsung mangkak (mekar atau besar hati).
Sejumlah kata benda berasal dari Cina yang menjadi nama sehari-hari masyarakat Betawi, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, adalah dacin (alat timbangan), teko, kuli, piso (pisau), cawan, kemoceng (alat pembersih dari bulu ayam), langkan (semacam balai-balai), tahpang, pangkeng (kamar), cita, topo (alat pembersih dari kain), anglo (alat memasak), kasut (kaus kaki), lonceng, loteng, sampan, bakiak, wayang, tong, gincu, cat, centeng, dan bangsat.
Yang mengherankan, istilah biting (semacam lidi kecil dari ruas daun kelapa) juga berasal dari bahasa Cina. Kini biting memang sudah sukar dicari karena sudah jarang para pedagang yang mengemas makanan dengan daun pisang.
Bahasa Cina juga memberi sumbangan yang punya asosiasi porno. Misalnya, gundik yang sekarang dikenal dengan sebutan 'istri piaraan' tanpa dinikahi. Bahkan, kata cabo atau pelacur yang setelah diperhalus menjadi wanita tuna susila (WTS) berasal dari kata Cina. Juga kata kawin dan comblang, perantara dalam perjodohan.
Masih banyak lagi istilah aneh yang datang dari Cina, seperti cingcong (cerewet), dan cingcai (sudahlah), kate (pendek), dan bopeng. Suatu hal biasa pada tempo doeloe kalau ada orang bersengketa, dinasihati dengan kata-kata cingcailah, jangan banyak cingcong. Dalam istilah keluarga, seperti engcang untuk sebutan kepada paman atau encing (bibi) yang hingga kini masih banyak digunakan warga Betawi juga berasal dari Cina. Akibat besarnya peran warga Cina di bidang perdagangan hingga kini banyak warga Jakarta yang berjual-beli dengan menggunakan bahasa Cina. Contohnya, gotun (lima rupiah), captun (sepuluh rupiah), cepek (seratus rupiah), dan seceng (seribu rupiah).
Terjadinya interaksi dalam bahasa ini karena Jakarta sebagai kota pelabuhan sudah bercorak internasional sejak berabad-abad lalu ketika masih disebut Sunda Kelapa. Waktu itu Sunda Kelapa bagian dari Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan (Bogor). Di bandar ini orang dengan berbagai latar belakang kebudayaan, termasuk orang-orang Cina, sudah saling bertemu dan berkomunikasi ketika mengadakan transaksi dagang.
Pada masa VOC keturunan Cina merupakan pedagang yang dominan. Percampuran selama berabad-abad mengakibatkan bahasa Melayu atau Betawi dimasuki unsur-unsur Cina, di samping Arab, Belanda, dan Portugis yang juga ikut memperkaya bahasa Indonesia.