REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Demam marquee player yang kini melanda klub-klub Liga 1 Indonesia ternyata bukan barang baru dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Sebelum kedatangan Michael Essien dan Carlton Cole yang berseragam Persib, atau Juan Pablo Pino Puello (Arema FC) dan Mohamed Sissoko (Mitra Kukar), Liga Indonesia sudah lebih dulu disesaki pemain kelas dunia. Sebut saja pemain asal Argentina yang pernah memperkuat Valencia, Mario Kempes. Pemain yang pernah mencicipi gelar Copa del Rey dan UEFA Cup itu bergabung dengan Pelita Jaya. Atau Roger Milla, bintang Timnas Kamerun era 1973-1994 yang mencicipi Liga Indonesia bersama Pelita dan Putra Samarinda sebelum akhirnya pensiun.
Lalu sejak kapan sepak bola menjadi olahraga paling digemari di Indonesia? Raffles yang memerintah 1811-1816 dalam bukunya History of Java sudah menyinggung istilah kegemaran pribumi terhadap sepak bola.
Dalam kitab Peringatan Oentoek Hindia Belanda (1923) yang ditulis JMW Demont disebutkan, di Hindia (Indonesia) sudah ada semacam permainan voetbal dengan bola yang dibuat dari rotan, buah jeruk, atau buah kelapa yang dikeringkan.
Indonesia sebelum Perang Dunia II (1942-1945) sudah memiliki banyak pemain besar. Sebagai kontingen Hindia Belanda pada 1938, Indonesia menjadi peserta World Cup di Prancis. Pemain Belanda yang terkenal antara lain Denkelaar, Van der Poel, Van Leeuwant, dan bekas kiper Belanda, Backhuys. Sedangkan emain pribumi yang terkenal adalah Mad Dongker, Abidin, Sumo, dan Tan Hwa Kiat (ayah pemain nasional Tan Liong Houw).
Marquee player Persib Bandung Michael Essien dibayangi gelandang Bali United Marcos Flores di Stadion GBLA Bandung, Sabtu (8/4). (Foto: Yogi Ardhi/ Republika)
Orang-orang Belanda di Indonesia pada 1918 membentuk Nederlandsch Indie Voetbal Bond (NIVB) yang membawahi bond-bond yang pemainnya didominasi warga Belanda. Anggota-anggotanya dilarang bermain dengan perkumpulan-perkumpulan sepak bola inlander.
Perkataan inlander yang merupakan penghinaan, sangat menyakitkan bangsa Indonesia. Maka pada 1928 berdiri Voetbalbond Indonesish Jakatra (VIJ). VIJ yang pada 1950 menjadi Persija, memiliki lapangan sepak bola di Petojo VIJ, belakang bioskop Roxy, Jakarta Pusat. Pahlawan Nasional M Husni Thamrin turun berperan dan banyak mengeluarkan uang untuk membangun lapangan ini. VIJ bersama dengan sejumlah perkumpulan lainnya pada April 1930 memsponsori berdirinya PSSI guna menyaingi NIVB.
Pada 1932 di lapangan VIJ diselenggarakan pertandingan antara PSSI–VIJ. Bung Karno yang baru dibebaskan dari penjara Sukamiskin, Bandung, diminta melakukan tendangan kehormatan.
Setelah kemerdekaan, sejumlah kesebelasan Belanda masih ada. Tapi tidak lagi bersikap diskrimatif dan sudah mengikutsertakan pemain Indonesia. Seperti Hercules yang memiliki lapangan di Deca Park (kini Monas depan MBAD). VIOS di Menteng (kini lapangan Persija), BVC di depan Balaikota, dan Oliveo. Kala itu menonjol kesebelasan yang didirikan warga Tionghoa, yaitu UMS yang memiliki lapangan di Petaksinkian (Kota) dan Chung Hwa di Tamansari, Jakarta Barat.
Yang lainnya adalah Maluku, BBSA, Maesa, Bintang Timur, dan Setia. Seperti Liga Eropa, tiap kesebelasan memiliki divisi utama, divisi I, II, dan III. Pada akhir pekan (Jumat hingga Ahad) warga Ibu Kota dengan bergairah menyaksikan pertandingan-pertandingan yang jadwalnya padat. Di antara pemain Indo Belanda terkenal kala itu adalah Van der Vin, kiper UMS. Boelaard van Tuyl, libero VIOS yang berbadan tinggi besar seperti Paolo Maldini, legenda Italia dan AC Milan.
Van der Berg, bek tangguh dari BBSA sekalipun postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, tapi berbadan tegap. Pesch, kanan luar Hercules yang larinya kencang bagai kijang. Ia sering merobek-robek pertahanan lawan dengan umpan-umpan akurat.
Yang paling menonjol di antara mereka adalah Van der Vin. Kiper berbadan tinggi, tapi perawakannya tidak terlalu besar ini, cukup lincah gerakannya dalam menangkap bola-bola tinggi. Hanya sedikit kelemahannya menghadapi bola-bola bawah.
Menghadapi lawan-lawan luar negeri, yang kala itu sering bertandang ke Indonesia, Van der Vin membuat para penyerang kenamaan kala itu menjadi frustasi karena gawangnya sulit ditembus. Dalam suatu pertandingan melawan suatu kesebelasan Hongaria di Ikada, ia menahan penalti pemain legendaris Puskav.
Pemain Hongaria yang saat negaranya diinvasi Uni Soviet pada 1960-an pindah ke Real Madrid, Spanyol, ketika mengeksekusi penalti berupaya menipu Van der Vin. Bola yang seolah-olah ditujukan ke arah kanan, tapi tiba-tiba dibelokkan ke arah kiri gawang, dapat ditangkap Van der Vin. Puluhan ribu penonton bertepuk tangan sambil berdiri, dan Van der Vin berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Raymond Kopa, dari Prancis kala itu juga pernah bertanding di Indonesia dan mengalami kesulitan menembus gawang Van der Vin. Kiper tampan ini berangkat ke stadion selalu menggunakan sepeda motor Harley Davidson: silih berganti memboncengkan berbagai gadis Indo.
Sejumlah penyerang PSSI yang disegani kala itu adalah Djamiat Dalhar, Liong Houw, Kiat Sek (Persija), Ramang (PSM), Witarsa (Persib), Ramli dan Ramlan (PSMS).
Menjelang 1960-an tampil Sutjipto Suntoro (Persija) dan Iswadi Idris (Persija), Yacob Sihasale dan Abdulkadir (Persebaya), dan Ronny Patinasarani (PSM). Sutjipto yang namanya harum di Asia, bersama dengan Yacob pernah terpilih dalam kesebelasan All Asian Stars.
Sutjipto Suntoro, legenda sepak bola Indonesia dan Persija. (IST)
Sampai awal 1970-an Indonesia masih sangat disegani di Asia. Pernah mengalahkan RR Cina 2-0, menggasak Thailand 4-0, menghantam Korea 3–0 dan PSSI yunior menekuk Iran 3–0.
Jepang dan Arab Saudi yang kini jadi menjadi langganan peserta Piala Dunia mewakili Asia, belum ada apa-apanya. Wartawan Antara Sugiarto Sriwibowo, yang meliput Olimpiade Dunia di Jepang (1964) menuturkan, ”Orang Jepang bila menonton bola sangat geli. Apalagi bila melihat para pemain menyundul bola. Mereka takut kalau kepalanya nanti pecah.