REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Mendapati ibu-ibu berpakaian batik merupakan hal langka di Jakarta. Mereka lebih senang berkemeja dan celana panjang karena lebih praktis. Padahal sampai 1950-an kain batik mendominasi busana wanita Indonesia dengan baju kebayanya. Bahkan, para wanita Indo Belanda dan Cina sehari-hari kala itu juga berkain batik dan berkebaya hingga dikenal istilah kebaya encim dengan kain batiknya.
Meskipun kini sudah jarang digandrungi para ibu, tapi ratusan koleksi kain batik yang sudah berusia ratusan tahun dapat kita saksikan di Museum Tekstil, Jl Karet Satsuit Tubun (dulu Jl Petamburan) No 4, Jakarta Barat. Museum yang diresmikan almarhumah Tien Soeharto pada 28 Juni 1976 lalu ini mengetengahkan koleksi kain tradisional dari berbagai daerah Indonesia dengan dominasi kain batik. Sampai 1970-an daerah Karet Tengsin dan Setiabudi (Jakarta Pusat) serta Palmerah (Jakarta Barat) menjadi salah satu industri kain batik di Ibu Kota. Sebagian besar industri dan perajin batik itu kini sudah bangkrut.
Gedung Museum Tekstil pada mulanya adalah rumah pribadi seorang warga negara Prancis yang dibangun pada abad ke-19. Awal abad ke-19 (1808-1809), Batavia sempat dikuasai Prancis setelah Belanda ditaklukkan Napoleon Bonaparte. Kemudian orang-orang Prancis membangun rumah dan tempat peristirahatan di daerah Petamburan yang kala itu masih merupakan kawasan elite dan jauh dari pusat kota Batavia.
Warga Prancis juga banyak tinggal di Batavia. Mereka membuka toko, hotel serta perkantoran di Rijswijk (kini Jl Veteran), Noordwijk (Jl Juanda), dan Petamburan yang saat itu dikenal sebagai France Buurt (kawasan Prancis).
Tidak diketahui nama warga Prancis yang membangun gedung megah yang ketika baru dibangun berluas dua hektar ini. Hanya disebutkan ia adalah seorang kaya raya dan gedung ini dibangun dengan gaya Islamik yang mencampurkan gaya Eropa dan Timur Tengah serta disesuaikan iklim tropis.
Rumah yang berusia lebih satu abad ini sampai 1950-an memiliki tanah luas di bagian belakangnya. Gedung ini pernah dihuni Konsul Turki Sayed Abdul Azis Al Musawi saat Turki masih merupakan Kesultanan Ottoman (Khilafah Utsmani). Konsulat Khilafah Ottoman ini menjadi salah satu tempat mengadu bagi orang Indonesia dalam menghadapi kekejaman penjajahan Belanda.
Sayed Abdul Azis Al Musawi menikah dengan Siti Rohani yang merupakan putri pejuang kemerdekaan Pangeran Sentot Alibasyah yang menjadi anak angkat Sultan Bengkulu terakhir. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Syarifah Mariam yang kemudian menikah dengan Sayed Abdullah bin Alwi Alatas.
Setelah Konsul Turki ini meninggal (1885) rumah tersebut berikut dua buah rumah yang berada di kiri kanannya, masing-masing Jl Petamburan (Jl Karel Satsuit Tubun No 2 dan No 6) dibeli menantunya, Sayed Abdullah bin Alwi Alatas. Ia kemudian merenovasinya sebagaimana bentuknya sekarang ini.
Menurut Abdullah bin Abbas Alatas, saat kakeknya, Sayed Alwi Alatas, menempati rumah barunya itu semangat gerakan Pan Islam tengah berkobar di Jakarta. Bahkan, ia sendiri merupakan salah satu tokoh dari gerakan yang sangat ditentang Belanda ini.
Abdullah juga seorang kawan dari Shaikh Mohamad Abduh, murid Sayid Jamaluddin Al-Afghani, pencetus Pan Islam. Kawan dekat lainnya di luar negeri adalah Shaikh Yusuf an-Nabhani, mufti Lebanon. Untuk itu Sayed Abdullah bin Alwi Alatas beberapa kali mengunjungi Mesir dan Timur Tengah. Begitu bergairahnya ia membantu gerakan Pan Islam hingga ia mengirimkan empat orang putranya ke sekolah tinggi Turki yang ketika itu masih berbentuk khalifah dan menjadi salah satu pusat gerakan ini.
Pada 1916 Sayid Abdullah bin Alwi Alatas menerbitkan majalah Borobudur berbahasa Arab sekaligus sebagai pimpinan redaksinya. Kakek dari mantan menteri luar negeri, Ali Alatas dan mantan perdana mentri Yaman Selatan, Haydar Alatas, ini juga menyokong penerbitan harian Utusan Hindia, surat kabar pertama berbahasa Melayu dengan pemimpin redaksinya HOS Cokroaminoto.
Surat Kabar ini lahir sebelum Cokro mendirikan Sarikat Islam. Ia juga membantu keuangan Muhammadiyah dan Al-Irsyad ketika kedua organisasi Islam ini didirikan. Selain itu, Sayid Abdullah bin Alwi Alatas juga ikut mendanai Arabithah Alawiyah dan sekolah Jamiatul Kheirnya.
Alatas School yang didirikannya di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, (kini kantor kelurahan Kebon Kacang) merupakan sebuah sekolah Islam modern pertama yang mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan Barat. Di kediamannya yang kini jadi Museum Tekstil itu juga pernah digunakan untuk Muktamar NU, seperti diungkapkan tokoh NU KH Mohamad Dachlan.
Sayid Abdullah bin Alwi Alatas yang lahir di Pekojan, Jakarta Barat, (1840) ini oleh orang Betawi dijuluki tuan tanah Baghdad. Ia memang salah seorang terkaya di Batavia ketika itu. Konon, ia memiliki tanah dari Pondok Betung di Bintaro hingga ke Pondok Cabe seluas 5.000 hektar.
Di rumahnya itu ia sering kali mengumpulkan para pedagang kecil lalu membeli dagangan mereka untuk kemudian disumbangkan kepada orang-orang tak mampu yang banyak tinggal di sekitar tempat tinggalnya. Sayid yang meninggal pada 1929 dalam usia 89 tahun dimakamkan di pemakaman wakaf Tanah Abang yang oleh Ali Sadikin digusur dan dijadikan rumah susun. Ketika wafat ia meninggalkan 30 ribu buku yang menurut cucunya, Abdullah bin Abbas, dihibahkan ke Madrasah Jamiatul Khair.