Rabu 11 Oct 2017 07:00 WIB

Karier Politik Sutan Sjahrir Mati di Tangan PKI

Sutan Sjahrir
Foto: IST
Sutan Sjahrir

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Beberapa partai pemilu sudah mendaftarkan diri ke Komisi Pemiluhan Umum (KPU) untuk mengikuti Pemilu 2019 mendatang. Sementara sejumlah partai lain sedang bersiap-siap. Mengingat kabar tersebut, saya hendak bercerita terkait pemilu pada 1955.

Pada 1955, menjelang pemilu pertama, saya menghadiri kampanye Partai Sosialis Indonesia (PSI) di lapangan Gambir (kini Monas), berhadapan dengan gedung Dana Reksa. Saya, sebagai pembaca koran Pedoman, tertarik pada PSI. Koran yang dipimpin Rosihan Anwar ini menjadi pendukung PSI, bersama Keng Po dan Indonesia Raya. Ketiganya, pada 1950-an dan 1960-an merupakan koran yang memiliki tiras terbesar di Indonesia.

Jumlah massa mengikuti kampanye ternyata tidak begitu banyak. Sekalipun hanya bagian kecil lapangan Gambir yang digunakan, masih tampak ruang-ruang kosong. Padahal, hadir Sutan Sjahrir, ketua umum PSI Sumitro Djojohadikusumo, Subadio Sastrosatomo, dan sejumlah tokoh PSI lainnya. Jauh lebih sepi dibanding kampanye Masyumi, PNI, NU dan PKI.

Dalam kampanye PSI itu hadir pula ketua partai sosialis Birma. Pada tahun-tahun tersebut di Asia dan Eropa banyak bermunculan partai sosialis yang mempunyai pengaruh kuat di pemerintahan.

Sedikitnya pendukung PSI tercermin pada hasil Pemilu 1955. Partai yang dijuluki sosialis kanan (soska) karena gandrung kepada kelompok Troskis ketimbang Stalin yang berkuasa setelah meninggalnya Lenin itu hanya meraih lima kursi di parlemen merosot dari sebelumnya 17 kursi.

Partainya Sjahrir yang dijuluki Bung Kecil itu tidak begitu laku di kalangan buruh dan tani, meski di kalangan terpelajar memiliki kader-kader militan yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis dan Gerakan Pemuda Sosialis.

Setidak-tidaknya, setelah PKI dibubarkan karena dituduh terlibat G30S, para kader PSI menduduki posisi penting dalam pemerintahan Orde Baru. Bahkan, Widjojo Nitisastro menjadi ketua Bappenas dan anggota-anggota kelompoknya memegang kendali ekonomi.

Pada masa Jepang, Sjahrir dikenal sebagai tokoh yang non-kooperatif. Ia menolak kerja sama dengan Jepang, berlainan dengan Sukarno-Hatta yamg mau kerja sama dengan Dai Nippon. Dia mendirikan PSI pada tahun 1948, setelah pada awal revolusi mengeluarkan sebuah buklet berjudul Perjuangan Kita, yang berisi diagnosis terhadap masalah-masalah kontemporer Indonesia pada masa revolusi fisik.

Di masa itulah kemudian ‘si Bung Kecil’ menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri. Naiknya Sjahrir sebagai PM untuk menunjukkan kepada Belanda bahwa republik ini bukan bentukan Jepang.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement