Ahad 31 Dec 2017 07:01 WIB

Petasan Awalnya untuk Nimpuk Setan

 Atraksi manusia petasan turut memeriahkan acara Gebyar Islami Budaya Betawi di Pertukangan Utara, Jakarta, Ahad (2/4).
Foto: Republika/Prayogi
Atraksi manusia petasan turut memeriahkan acara Gebyar Islami Budaya Betawi di Pertukangan Utara, Jakarta, Ahad (2/4).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Pergantian tahun 2017 ke 2018 tinggal menghitung jam. Pada malam pergantian tahun, masyarakat di sejumlah daerah sudah menyiapkan diri menyambut datangkan tahun baru. Pada malam itu seperti sudah menjadi tradisi jika petasan menjadi barang wajib untuk merayakan pergantian tahun. Padahal, merayakan malam pergantian tahun tidak ada dalam ajaran Islam, terlebih merayakan dengan hal yang berlebihan seperti membakar petasan.

Padahal, sudah bertahun-tahun aparat keamanan telah mengeluarkan larangan bermain petasan, khususnya selama bulan Ramadhan, karena membahayakan keselamatan. Berbagai razia dilakukan di daerah-daerah terhadap para pedagang maupun pembuatnya. Kenyataan suara petasan yang memekakkan telinga hingga ini masih terdengar di kampung-kampung.

Mungkin banyak yang belum tahu bahwa petasan berasal dari daratan Cina. Dibawa oleh para imigran Cina yang datang ke Nusantara terutama pada abad ke-19. Di negeri asalnya sendiri petasan digunakan untuk mengusir, setidaknya menakuti-nakuti setan, iblis, memedi, dan roh jahat.

Hal itu berkaitan dengan kepercayaan masyarakatnya. Ketika terjadi wabah penyakit di Cina, banyak korban berjatuhan. Menurut kepercayaan mereka, wabah penyakit itu disebabkan oleh setan dan iblis tengah murka pada ulah manusia. Untuk mengusirnya, penduduk pun memukul-mukul benda yang bersuara nyaring seperti seng, tambur dan gendang, serta menyulut petasan.

Pada masa Dinasti Ming (1368-1644), orang Cina telah menggunakan obat mesiu untuk membuat petasan dan kembang api, yang ditembakkan ke udara dan membuat pola-pola indah warna-warni. Maka, petasan digunakan untuk meramaikan pesta-pesta, seperti tahun baru Imlek, capgomeh dan pehcun (pesta perahu) serta berbagai pesta rakyat lainnya. Petasan yang dibuat dengan cara mencampurkan bahan belerang (sulfur) dan nitrat.

Kalau sampai 1970-an petasan impor berasal dari Jepang, kini dari RR Cina. Negeri yang berpenduduk 1,2 miliar jiwa ini dapat menghasilkan 300 jenis kembang api (yang dalam bahasa Mandarin disebut janghwe). Pada Olimpiade 2008 lalu, dunia dibuat kagum dengan pesta kembang api pada saat pembukaan dan penutupan Olimpiade di Beijing.

Kedatangan para imigran Cina ke Nusantara umumnya tanpa disertai dengan istri. Di sini mereka mengawini wanita pribumi, khususnya para budak yang saat itu dijualbelikan. Bahkan, di Kali Besar, Jakarta Kota, ada tempat jual beli (lelang) budak. Meskipun anak-anak mereka berdarah campuran, tetap mempertahankan tradisi nenek moyangnya.

Imigran Cina bertambah banyak dengan dimulainya era kapal uap menjelang akhir abad ke-19. Petasan pun dijadikan salah satu atraksi oleh mereka untuk merayakan pesta rakyat. Pesta capgomeh (malam ke-14 Imlek) menjadi begitu meriah dengan atraksi petasan, hingga banyak ditonton dan dinikmati bukan hanya oleh warga Cina, tapi juga pribumi, Arab, dan Belanda.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement