REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Pada masa kolonial pengadilan disebut landraad. Di landraad juga kerap terjadi pengadilan penuh tipuan. Bekas gedung landraad itu masih berdiri kokoh dan kini menjadi Museum Sejarah Jakarta. Sebagai contoh adalah pengadilan Pieter Erberveld yang dieksekusi (April 1922) karena dituduh ingin memberontak, diduga karena masalah tanah.
Ketika itu Gubernur Jenderal Zwaardecroon berniat membeli semua tanah yang terletak di bagian timur gereja Portugis (sebelah kiri Stasiun KA Beos), yang rupanya milik Pieter.
Karena pemilik menolak menjual tanahnya di kawasan elite Batavia itu, direkayasa pengadilan seolah-olah dia hendak memberontak.
Rupanya keinginan untuk memiliki telah terjadi di Jakarta sejak masa VOC, termasuk para gubernur jenderal. Seperti gubernur jenderal Jacob Mossel (1750-1761), yang membeli tanah sekitar Senen-Gunung Sahari sampai Waterlooplein (Lapangan Banteng). Sementara, gubernur jenderal Albertus Parra (1761-1779) membangun vila mewah di Weltevreden yang kini menjadi RSPAD Gatot Subroto.
Pada Agustus 1745 Gubernur Jenderal Van Imhoff membeli tanah di Kampung Baru yang kemudian ia rubah namanya menjadi Buitenzorg dan kini menjadi Istana Bogor. Ketika Van den Parra hendak dilantik dia meminta supaya para bupati menghadiri atau mengirimkan utusan.
Pesta pora yang sangat mewah bukan hanya sering terlihat di Batavia, tapi juga di tempat-tempat VOC memiliki kantor cabang seperti Persia, Jepang, India dan Srilangka. Bisa dibayangkan berapa biaya dinas yang dikeluarkan untuk itu. Masih lusinan lagi gubernur jenderal dan anggota Dewan Hindia yang hidup kelewat mewah.
Akibat hidup mewah dan korupsi yang kelewat batas, maka pada 1799 kongsi dagang VOC dinyatakan bangkrut. Imperium yang pada awalnya memonopoli perdagangan dan rempah-rempah dan memiliki armada kapal di hampir seantero dunia itu meninggalkan hutang 140 juta gulden. Nilai uang Belanda ini nilainya lebih tinggi dari dolar yang kala itu belum punya arti apa-apa.
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)
Merasa datang dari tempat yang jauh dan seolah-olah hidup dalam ‘pembuangan’ semacam Batavia, sebagai konpensasi mereka menjalani hidup yang sangat mewah. Tapi, karena gaji tidak mencukupi, korupsi dan kolusi merupakan salah satu cara yang mereka tempuh.
Bayangkan, seorang nyonya Belanda atau nyai untuk keluar runah saja harus diiringi lima budak belian. Ada yang khusus untuk memayungi, membawa tempat sirih, tempolong untuk meludah saat nyirih, penggotong tandu dan khusus untuk menjaga serta melayani putra-putrinya.
Budak-budak itu didatangkan dari Andaman, Malabar, Malaka, dan Goa, dengan biaya sangat mahal. Ada juga budak-budak lokal yang kebanyakan dari Bali.
Masyarakat elite Belanda ketika itu juga membangun vila-vila di luar kota, seperti di Ancol dan Molenvliet (Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk). Vila-vila itu memiliki puluhan dan konon ratusan kamar tempat menginap para budak.
Banyaknya budak menjadi simbol kemakmuran seorang pejabat VOC. Di antara para budak itu ada yang mereka jadikan pemain orkes untuk mengiringi mereka makan malam dan pesta-pesta meriah.