Rabu 24 Oct 2018 12:03 WIB

Pendiri Singapura Jatuh Cinta kepada Bogor

Istri Sir Thomas Stamford Raffles dimakamkan di Kebun Raya

Istana Bogor
Foto: beta.matanews.com
Istana Bogor

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Pada masa Inggris memegang kendali Indonesia, Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1815), sangat jatuh cinta dengan Buitenzorg atau Kota Bogor. Raffles berjasa dalam membangun Kebun Raya Bogor, bersebelahan dengan istana. Bahkan istri pertamanya, Olivia Miriamne, dimakamkan di Kebun Raya.

Pendiri kota Singapura ini, boleh dikata selama empat tahun pemerintahan Inggris di Nusantara, jarang berada di Batavia. Sekalipun ia membeli dan membangun rumah mewah di Rijswijk yang kemudian menjadi Hotel der Nederlanden. Bung Karno kemudian dijadikan Markas Besar Cakrabirawa (pengawal khusus Presiden). Kemudian oleh Pak Harto dijadikan gedung Bina Graha.

Raffles lebih banyak berada di lingkungan Istana Bogor yang dibangun Daendels. Ia mengadakan perjalanan dari Batavia ke Kota Hujan dengan kereta kebesarannya, ditarik delapan ekor kuda. Ia juga sering tinggal di Istana Cipanas.

Di kedua istana ini, Raffles sering berpesta-pora dengan jamuan mewah dan banjir sampanye. Sampai ada tamu-tamu yang pulang dengan ‘teler’.

photo
Sir Thomas Stamford Raffles

Tak hanya Raffles yang mencintai Bogor. Presiden RI pertama, Sukarno pun jatuh hati kepada 'kota tanpa rasa risau' itu.

Bung Karno sering berada di Istana Bogor. Termasuk mengadakan sidang kabinet dan mengambil berbagai keputusan penting. Surat Perintah 11 Maret 1966 yang terkenal, dikeluarkan di Istana Bogor. Dalam salah satu wasiatnya (24 Mei 1965), Bung Karno minta agar bila ia meninggal dunia dimakamkan di Kebun Raya Bogor dekat kolam pemandian yang membukit.

Lalu bagaimana caranya warga Batavia pergi ke Buitenzorg? Bogor atau Buitenzorg kini sudah menyatu dengan Jakarta. Angkutan umum Jakarta-Bogor tidak pernah henti selama 24 jam. Entah berapa puluh kali KRL pulang pergi mengangkut penumpang yang berjubelan tiap hari.

Dahulu, sebelum dibuka jaringan kereta api (1873), mereka yang ingin pergi ke Bogor harus berpikir dua kali. Bahkan, sampai pertengahan 1950-an, hanya ada satu jalan ke Bogor melalui Cibinong. Angkutan didominasi oleh ‘oplet si Doel’, yang harus tersendat-sendat karena jalan rayanya hanya dua jalur. Jalan raya Ciputat–Parung–Bogor masih jalan tanah.

Jalan raya Jakarta-Bogor yang jaraknya 60 km dibangun pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Ia juga membangun Istana Buitenzorg alias ‘Sains Souci’ terletak di sebuah perbatasan perkebunan kopi yang namanya sama. Dikabarkan, Daendels pergi ke Bogor dengan menaiki kereta yang ditarik 30 ekor kuda. Untuk tiap saat siap menghadapi lumpur di kota hujan ini.

Sedangkan masyarakat awam pergi ke Bogor menggunakan kahar –sejenis pedati yang ditarik dua ekor kuda. Kahar mampu mengangkut empat penumpang. Ongkos borongan ke Bogor 12,5 gulden. Ongkos ini cukup mahal bila diingat harga beras 3,5 sen per kg. Jadi, naik kahar borongan, nilainya lebih dari harga 300 kg beras. Untuk bisa mencapai Bogor, ada pula yang naik perahu.

Jika bepergian sendirian, bisa menyewa joli. Joli adalah tandu yang dipikul empat orang. Dua di depan, dua di belakang. Naik joli makan waktu lebih lama dari waktu tempuh naik kahar yang mencapai 8-10 jam. Apalagi jalan Jakarta-Bogor masih sunyi. Jarang ditemui warung atau rumah makan ditengah jalan. Hingga mereka yang bepergian harus menyediakan bekal makanan dan minuman cukup banyak.

Tidak jelas berapa ongkos angkut dengan joli. Tapi sejauh ini tidak ada laporan terjadi perampokan atau kejahatan ditengah perjalanan. Yang bikin susah para kulit angkut joli adalah bila sang penumpang ‘membuang gas’. Udeh cape-cape, baunya tidak ketolongan.

Bepergian ke Bogor, baik melalui kahar atau joli waktu itu dari pusat kota Batavia. Yakni di Jl Pos atau Grote Postweg depan gedung Museum Sejarah DKI Jl Fatahilah, dekat stasiun KA Kota. Di tempat inilah para sais kahar dan kuli angkut ngetem menunggu penumpang.

photo
Museum Fatahillah

Ketika trem listik mulai beroperasi, tempat ini dijadikan akhir pemberhentian untuk jurusan Meester Cornelis (Jatinegara) – Kota. Di dekatnya terdapat gedung Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) yang hingga kini masih tampak megah dan digunakan oleh Bank Eksim. Hingga 1970-an orang menyebutnya gedung Faktori dari kata Belanda de Factorij.

Keberadaan NHM perlu kita angkat, karena ia merupakan reinkarnasi dari VOC yang dibubarkan 1799. VOC bangkrut akibat korupsi yang tidak mengenal batas. Maklum yang namanya KKN dikenal sejak dulu. Keberadaan NHM tidak dapat dilepaskan dari ‘sistem tanam paksa’-nya gubernur jenderal Van den Bosch (1830-1833). NHM-lah, sebagai penyalur berbagai produk ekspor itu ke Eropa.

Sistem tanam paksa ini telah menyengsarakan jutaan rakyat Indonesia, dan menyebabkan kematian ribuan orang. Sementara negeri Belanda mengeruk keuntungan berlimpah-limpah. Hampir 50 persen anggarannya waktu itu berasal dari sistem yang nyata-nyata melanggar HAM, mengeksploitasi manusia terhadap manusia dengan kejam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement