Sampai saat ini, para sejarawan hanya menduga-duga di mana tepatnya dulu Keraton Jayakarta dan tempat Fatahillah mengusir Portugis di Teluk Jakarta. Kehadiran Fatahillah yang menurut catatan berasal dari Persia pun masih menjadi perdebatan, benarkah dia yang mengusir Portugis dari Sunda Kelapa atau Fatahillah hanya tokoh fiktif.
Bukan hanya itu, hari kelahiran kota Jakarta, 22 Juni 1527, juga diperdebatkan. Dua orang profesor pernah bertarung mengenai penetapan tanggal tersebut. Yang pertama kali menetapkan 1527 sebagai tahun kelahiran Jayakarta adalah almarhum Prof Dr PA Hussein Djajaningrat dalam disertasinya berjudul Critische Beschouwaring van den Sejarah Banten yang dipertahankan di Universitas Leiden, Belanda. Namun yang menentukan 22 Juni 1527 sebagai hari lahir Jayakarta adalah Prof Dr Sukanto.
Dalam disertasinya Prof Husein Djajaningrat menyatakan Jayakarta diartikan volbrachtezege (kemenangan yang selesai) setelah bandar ini direbut dari Kerajaan Pajajaran dan sekaligus mengusir Portugis. Pajajaran merupakan kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa pada waktu itu. Sedangkan Fatahillah adalah ipar Sultan Demak, Tranggono, yang dipercaya memimpin gerakan tentara ekspedisi ke Jawa Barat.
Kalau disimpulkan, kelahiran Jayakarta merupakan pembenturan tiga kekuatan waktu itu. Yakni Kesultanan Demak, Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Portugis yang sudah punya pancangan kaki di Malaka sejak 1511, yaitu sejak negara di Eropa selatan ini merebut kota itu dari tangan orang Melayu.
Menurut Mr Hamid Algadri, saat Kerajaan Pajajaran yang menganut agama Hindu mengadakan perjanjian persahabatan dan perdagangan dengan Portugis, masih dalam suasana Perang Salib. Kedatangan Portugis dalam kaitan Perang Salib untuk memotong perdagangan orang Arab yang telah datang ke Nusantara sejak pra Islam.
Kedatangan Portugis, yang kemudian disusul oleh Belanda, menurut Algadri, merupakan kelangsungan perang melawan Islam di Spanyol dan Timur Tengah. Hal ini disebabkan adanya rute perdagangan yang sejak berabad-abad menghubungkan Kepulauan Indonesia dengan negeri-negeri di sekitar Laut Merah dan Teluk Parsi.
Rute perdagangan itu tidak saja ke Kepulauan Indonesia tetapi terus melanjut ke negeri Cina. Rute perdagangan tersebut memberi banyak keuntungan bagi para pedagang Islam, termasuk di dalamnya pedagang Arab, dan mengakibatkan kemakmuran di negeri sekitar Teluk Parsi dan Laut Merah.
D’ Albuquerque, gubernur Portugis di Malaka, pernah berpidato di depan pasukannya di Malaka, bahwa dengan memandulkan orang-orang Moor (Islam dan Arab) dari perdagangan rempah-rempah, orang Portugis berharap menyerap kekuatan Islam.
Hasilnya, pihak Portugis kecewa berat. Setelah mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Pajajaran, Francius da Silva, panglima armada Portugis saat akan mendarat di Teluk Jakarta menduga akan disambut dengan meriah oleh pejabat-pejabat Pajajaran yang bertugas di Sunda Kalapa. Ternyata mereka disambut dengan senjata oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Fatahillah. Armada Portugis berhasil dipukul mundur hingga melarikan diri kembali ke Malaka.