REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Sungguh mudah perjalanan ibadah haji saat ini. Hanya dalam tempo 10 jam pesawat yang kita tumpangi sudah tiba di Arab Saudi. Hal semacam ini tidak pernah terbayangkan oleh mereka yang menunaikan ibadah haji di masa-masa lampau. Apalagi, sampai awal 1970-an perjalanan ke Tanah Suci masih melalui kapal laut. Hingga untuk menunaikan rukun Islam kelima diperlukan waktu tiga bulan, baru kembali ke Tanah Air.
Namun, jauh sebelum adanya kapal laut, hasrat umat Islam di Indonesia untuk menunaikan ibadah haji cukup besar. Ini terbukti dengan beberapa laporan yang menyebut para jamaah haji tersebut menggunakan kapal layar.
Hingga mereka mengarungi lautan selama berbulan-bulan, bahkan sampai memakan waktu dua tahun. Ini disebabkan karena kapal layar harus berhenti di beberapa pelabuhan. Risiko perjalanan cukup besar. Sering kali menghadapi perompak, gelombang dahsyat, dan penyakit.
Kesulitan transportasi ini makin dipersulit dengan adanya politik pemerintah kolonial Belanda untuk mengendurkan semangat umat Islam Indonesia pergi ke Tanah Suci. Bagi Belanda, ibadah haji merupakan bahaya besar dalam mempertahankan politik kolonialnya di Indonesia.
Yang ditakutkan Belanda, selama di Tanah Suci itu para jamaah haji Indonesia mengadakan kontak dengan jamaah dari berbagai negara. Apalagi, waktu itu banyak pemberontakan di Tanah Air melawan penjajahan digerakkan para haji.
Berbagai peraturan dikeluarkan pihak kolonial untuk menghambat umat Islam berhaji. Pada 1825, dikeluarkan ordonansi. Isinya melarang umat Islam pergi haji tanpa pas jalan.
Untuk mendapatkan pas jalan, mereka harus membayar 110 gulden. Uang sebesar itu nilainya sangat tinggi. Mengingat harga rumah sederhana hanya 50 gulden. Demikian keras peraturan itu sehingga mereka yang pergi haji tanpa pasakan dikenakan denda dua kali lipat sekembalinya. Sementara, pulangnya para haji ini harus menempuh ujian terlebih dahulu, sebelum berhak mendapatkan gelar "haji" di depan namanya dan menggunakan pakaian haji.
Meskipun berbagai kendala dilakukan pihak kolonial, itu semua tidak pernah meruntuhkan hasrat umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Apalagi, pada pertengahan abad ke-19 kapal bermesin (uap) mulai beroperasi melintasi benua.
Cukup banyak jamaah Indonesia yang bertolak ke Tanah Suci melalui Singapura. Yang tinggal di Pulau Jawa, berangkat melalui dua pelabuhan, Batavia dan Surabaya. Setelah beristirahat beberapa lama di Singapura, barulah ke Jeddah.
Sayangnya, sejak dulu (hingga kini), jamaah haji kerap menjadi korban penipuan. Mulai dari saat berangkat di Tanah Air mereka sudah diperas para "syekh". Pengertian syekh di sini adalah agen atau para calo tiket kapal dari perusahaan-perusahaan milik Inggris dan Belanda.
Kadang-kadang para calon haji karena kehabisan perbekalan dan menjadi korban penipuan syekh akhirnya hanya sampai di Singapura. Karena itu, pada akhir abad ke-18 dan ke-19 dikenal istilah "haji Singapura" karena para calon haji ini hanya sampai di kota itu saja perjalanannya, jadi korban syekh dan calo-calo.