REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Dalam cerita-cerita rakyat Betawi kerap kali muncul jago-jago dari kaum perempuan. Mereka dengan gagah membela rakyat tertindas, menentang pemimpin yang zalim, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Salah satu pendekar silat wanita yang cukup dikenal adalah Mirah, yang memperoleh gelar ‘singa betina dari Marunda’ berkat keberanian dan kelihaiannya main giksaw. Mirah, dalam terminologi gender, bukan seorang tokoh emansipasi, tetapi seorang pejuang dalam arti sebenarnya.
Kampung Marunda, di tepi pantai yang pernah menjadi salah satu markas balatentara Islam Mataram ketika menyerang Batavia (1628-1629), sejak dulu memiliki banyak pejuang yang bergabung dengan Mataram melawan Kompeni. Bahkan, di sini terdapat Masjid Al-Alam, yang menurut cerita dibangun oleh pasukan Fatahillah ketika mengusir Portugis dari Sunda Kalapa.
Ketika terjadi revolusi (perang kemerdekaan) melawan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang datang ke Indonesia setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dengan mendompleng Sekutu (Inggris), rakyat Marunda banyak menjadi korban dalam mempertahankan kemerdekaan. Mirah, serta kawan-kawan wanitanya, ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Karena keberaniannya inilah yang menyebabkan dia diberi gelar ‘singa betina dari Marunda’.
Memang tidak banyak diketahui cerita tentang Mirah. Dalam buku Beksi Maen Pukulan Khas Betawi, dua seniman Yahya Andi Saputra dan H Irwan Syafi’ie sedikit mengangkat tokoh wanita ini, di samping sejumlah pemain silat lainnya.
Selain Mirah, ada lagi pejuang perempuan Betawi yang juga ahli ‘maen pukulan’. Dia adalah Nyi Mas Melati dari Tangerang. Di kota sebelah barat Jakarta ini, juga pada Revolusi Fisik (1945), dia tidak gentar berada di garis depan melawan pasukan NICA. Seperti juga Mirah, pada saat revolusi sejumlah wanita aktif membantu para pejuang di garis depan sekalipun hanya sebagai pensuplai makanan dan obat-obatan.
Baca Juga: Sejarawan Sebut 22 Juni 1527 Pembantaian Orang-Orang Betawi
Perkumpulan pencak silat tidak menutup diri pada masalah-masalah sosial. Sejumlah jawara atau jagoan Betawi ikut terlibat dalam berbagai pemberontakan para petani seperti di Condet, Jakarta Timur (1916), Slipi, Tanah Abang dan Cakung (1913), serta Tangerang 1924 dan Tambun (1869). Mereka berontak mencegah pasukan VOC dan tuan tanah jahat yang akan melakukan penyitaan terhadap kediaman para petani karena tidak sanggup membayar blasting (pajak) hasil bumi.
Ini membuat para pendekar silat di Betawi selalu dicurigai penjajah. Tidak seorang pun pendekar (baik jago maupun jagoan) dari generasi terdahulu yang bersedia menyebutkan siapa gurunya. Dahulu latihan ‘maen pukulan’ sifatnya tertutup. Bahkan, ada yang memulai latihan pada tengah malam dan berakhir menjelang siang.
Di tempat latihan ‘maen pukulan’ ini sifat kependekaran ditempa. Adat pendekar Betawi adalah menang buah menang papan. Artinya, berantem menang, perkara di pengadilan juga harus menang. Karena itu, kiat untuk memenangkan perkara di pengadilan juga dibahas di tempat latihan ‘maen pukulan’.
Sejak 1950-an tempat latihan ‘maen pukulan’ yang tertutup berubah menjadi perguruan silat Betawi yang terbuka. Misalnya, Perguruan Silat Pusaka Sentra Kencana (berdiri 1952), Perguruan Silat Pendidikan Sinar Paseban, Kampung Kramat Sawah III (juga berdiri 1952), dan Perguruan Silat Putera Utama, Kayu Manis (berdiri 1960).
Aliran silat Sabeni (namanya diabadikan menjadi nama jalan di Tanah Abang), yang terkenal dengan jurus kelabang nyebrang dan merak ngigel diasuh oleh keturunan Sabeni sendiri. Ia adalah jagoan dari generasi sebelum perang dunia II. Ia lahir (1865) di Tenabeng, yang kini menjadi nama jalan Sabeni.
Seorang jago adalah seorang yang bijak dan mau membantu orang yang sedang kesusahan, serta menolong orang yang lemah. Seorang yang disebut jago akan segera bertindak untuk mendamaikan orang atau kelompok yang sedang ribut/berkelahi, sekaligus memberi nasihat yang baik. Dia pun tidak mau membuat kesalahan, seperti menyinggung perasaan orang lain, memaki, memukul, apalagi sampai melukai dan membunuh.
Seorang jago mempunyai falsafah, menurut H Irwan Syafi’ie, hidup dan mati seorang manusia tergantung bagaimana amal perbuatannya. Karena falsafah hidup yang Islami itulah, maka hubungan mualim (guru agama) dengan jagoan tidak konfrontatif bahkan ada hubungan fungsional antara keduanya.
Baca Juga: Masih Bertengkar Soal Khilafiah? Belajarlah pada KH Syafi'ie
Jagoan membaca doa-doa tertentu untuk peningkatan ‘maen pukulan’-nya. Senjata-senjata jagoan seperti golok, atau pisau raut biasanya diberi wafak pada bilah logam tersebut. Yang mengajarkan wafak adalah mualim.
Karena itu, banyak jagoan Betawi yang melaksanakan rukun Islam kelima. Seperti H Entong Gendut (Condet), Haji Ung (Kemayoran-kakek dari almarhum Benyamin S), Haji Darip (Klender), Haji Asenie (Petamburan), Haji Madalih Pitung (Kreo, Ciledug) dan masih banyak lagi.
Bagi jago atau jagoan Betawi istilah "lu jual, gua beli" ternyata bukan hanya sekedar gertak sambel, tetapi sudah menjadi tekad menjaga ketenteraman dan ketertiban ibukota. Seperti saat para jagoan berada dalam organiasi COBRA pimpinan Kapten Imam Syafe’ie.