REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Lintar Satria
Gempuran spekulan terhadap mata uang bath membuat Pemerintah Thailand tidak mempunyai pilihan lain selain mengambangkan bath. Selama empat tahun terakhir satu dollar AS bertahan di angka 24 bath, langsung turun menjadi 26,43 bath.
Hal ini menyebabkan goyangan di beberapa negara tetangga seperti ringgit Malaysia, peso Filipina dan rupiah Indonesia. Awalnya rupiah masih bertahan namun pada tangal 13 Agustus 1997 rupiah cenderung melemah hingga mencapai rekor terendah dalam sejarah.
Nilai tukar rupiah menjadi Rp 2.682 per satu dollar AS. Dan terus melemah pada bulan-bulan selanjutnya. Pada tanggal 8 Oktober 1997 rupiah tembus Rp 4.000 per satu dollar AS. Januari 1998 rupiah sudah menjadi Rp 9.700 per satu dollar AS. Hingga satu hari sebelum kerusuhan 13 Mei rupiah mencapai Rp 11.000 per satu dollar AS.
Terpuruknya perekonomian Indonesia, melambungnya harga barang-barang, meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menyempitnya kesempatan kerja memancing mahasiswa menggelar unjuk rasa dan aksi keprihatinan. Awalnya aksi hanya dilakukan di dalam kampus dan hanya melibatkan sedikit mahasiswa.
Tapi aksi-aksi mahasiswa semakin marak. Tidak jarang terjadi bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan. Pemerintah mulai mencoba merendamnya. 5 Maret 1998 dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia diterima FABRI di gedung MPR/DPR. Mereka menolak pidato pertanggungjawaban Presiden yang disampaikan pada Sidang Umum MPR. Selain itu mereka juga menyerahkan agenda reformasi nasional.
Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Wiranto mencoba meredam aksi-aksi tersebut dengan mengajak mahasiswa berdialog. Akan tetapi tawaran dialog tersebut ditolak oleh senat mahasiswa beberapa perguruan tinggi besar, seperti UI, Universitas Kristen Indonesia, dan Universitas Jayabaya di Jakarta, Unpad dan ITB di Bandung, serta UGM di Yogyakarta.
Pada tanggal 15 April 1998 Soeharto meminta para mahasiswa untuk kembali ke kampus, dan mengakhiri protes. Sepanjang bulan ini mahasiswa dari perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan demo yang menuntut diadakannya reformasi politik.
18 April 1998 bertempat di Pekan Raya Jakarta, Menhankam/Pangab dan 14 menteri dari Kabinet VII mengadakan dialog dengan mahasiswa. Tapi tak sedikit perwakilan dari berbagai perguruan tinggi menolak dialog tersebut.
4 Mei 1998 mahasiswa di Medan, Bandung, dan Yogyakarta menyambut kenaikan BBM, yang diberlakukan pada 2 Mei, dengan demontrasi besar-besaran. Demontrasi ini pecah menjadi kerusuhan dengan pihak keamanan. Di Universitas Pasundan Bandung, misalnya, 16 mahasiswa luka akibat bentrokan tersebut. Keesokan harinya tepatnya pada tanggal 5 Mei 1998 demontrasi mahasiswa besar-besaran terjadi di Medan yang berujung pada kerusuhan.
Puncaknya terjadi pada tanggal 12 Mei 1998. Empat mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan peluruh aparat keamanan di kampus mereka. Elang Mulya Lesmana (Arsitektur 1995), Hendriawan Sie (Manajemen 1996), Heri Hartanto (Teknik Mesin 1995) dan Hafidhin Alifidin (Teknis Mesin 1995) terkena tembakan ketika mereka baru selesai menggelar aksi keprihatinan dan memasuki kampus.
Keesokan harinya, tanggal 13 Mei 1998 usai pemakaman keempat mahasiswa tersebut, ribuan mahasiswa Trisakti mengadakan aksi berkabung di kampusnya. Mereka mulai berkumpul di sekitar Kampus Trisakti. Mereka ingin bergabung dengan mahasiswa lainnya yang melakukan demonstrasi di MPR/DPR. Namun aparat keamanan mencegah mereka. Karena itu massa mengamuk dan mulai melakukan pelemparan dan perusakan.
Kerusuhan yang awalnya hanya terjadi di Kampus Trisakti menyebar ke tempat-tempat lain. Kemudian berkembang menjadi kerusuhan rasialis. Etnis Tionghoa menjadi sasaran. Toko-toko mereka dirusak, dibakar dan dijarah.
Massa yang semula di Jalan S. Parman bergerak ke arah Daan Mogot. Mereka merusak dan membakar mobil dan gedung-gedung di sepanjang jalan yang mereka lalui. Sementara massa lainnya bergerak ke arah Jalan Prof. Latumenten, Jembatan Besi dan Bandengan. Sebagian lainnya bergabung ke arah Jalan Kyai Tapa dan bergerak cepat ke Roxi, Gadjah Mada, Hayam Wuruk dan Batu Ceper.
Selepas Magrib, massa yang bergerak ke arah Jalan Daan Mogot terpecah dua. Sebagian bergerak ke Jalan Pangeran Tubagus Angke, Kosambi, dan Taman Semanan. Sebagian lagi arah Gedung Panjang, Jembatan Tiga dan Pluit. Di wilayah tersebut pada malam hari mulai terdengar peristiwa pemerkosaan.
(Selanjutnya baca: Medan Berdarah dan Kerusuhan yang Terus Menjalar)