REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Lintar Satria
Pada 14 Mei 1998 malam suasana Jakarta sangat mencekam. Satu hari sebelumnya ada 434 gedung dirusak dan dijarah, 393 kendaraan dibakar, dan ratusan penjarah diamankan polisi. Gedung yang dirusak terbanyak ada di Jakarta Barat, sekitar 255 gedung. Di Jakarta Pusat ada 74 bangunan hancur, 141 di Jakarta Utara dan 4 gedung di Jakarta Selatan.
Kerusuhan telah melanda hampir seluruh wilayah Jakarta dan wilayah yang berdekatan. Aksi pembakaran dan penjarah di berbagai sudut Ibu kota makin menggila. Para perusuh tidak hanya menjarah toko atau swalayan, rumah tempat tinggal pun menjadi sasaran. Bantuan pasukan dari luar kota mulai didatangkan untuk mengamankan situasi Ibu Kota.
Sejak hari itu pula dan berminggu-minggu selanjutnya ribuan WNI keturunan menyikir keluar negeri, khususnya Singapura, Bangkok, Hong Kong dan Australia. Langkah WNI keturunan itu juga diiringi oleh ratusan warga asing lainnya, seperti staf kedutaan, pekerja asing, berserta keluarga dan pejabat-pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) yang bertugas di Indonesia.
Tidak hanya di Bandara Soekarno-Hatta pesawat-pesawat charter juga dioperasikan di Bandara Halim Perdanakusuma. Pesawat yang tersedia, antara lain, satu Fokker F-28 milik Mafira Air Malaysia, satu Boeing 737-400 Malaysia Airlines System, dua Fokker F-28 dan satu RJ Pelita Air Service, satu Fokker F-28 dari Manunggal Air, serta satu MD-11 Garuda Indonesia.
Kepergian ribuan WNI keturunan dan WNA tersebut tetap ada masalah. Selain menghindari kerusuhan, mereka juga harus menghindari perampokan yang saat itu marak di jalan tol arah Bandara Soekarno-Hatta. Kalaupun mereka bisa selamat sampai di bandara mereka harus mengeluarkan uang ekstra untuk petugas imigrasi dan petugas pemungut fiskal.
Walaupun penuh dengan rintangan tiket-tiket pesawat menuju negara-negara pengungsian penuh terpesan. Namun karena tempat duduk pesawat terbatas, banyak di antara WNI yang tak bisa pergi malam itu. Namun mereka tidak kembali ke rumah masing-masing. Mereka memilih untuk menginap di bandara, sehingga beberapa hotel di sekitar Bandara penuh. Ada juga warga yang memilih pergi ke kota lain yang dianggap lebih aman.
Menurut keterangan petugas Imigrasi saat itu ada sekitar 10 ribu WNI keturuan yang pergi ke luar negeri. “Kita sudah mengatisipasi kemungkinan ini,” kata Sudirman, Kepala Imigrasi Soekarno-Hatta ketika itu.
Sejumlah WNI yang hendak meninggal Indonesia mengatakan hanya ingin mencari perlindungan keamanan di luar negeri. “Untuk sementara saya mengungsi ke Singapura, kalau sudah aman kembali ke Indonesia,” kata Anthony dari Pluit.
(Selanjutnya baca: Soeharto Diminta Mundur Anak Emasnya Sendiri)