REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Lintar Satria
Tidak menentunya keadaan di Tanah Air menyusul peristiwa penembakan empat mahasiswa Trisakti membuat Soeharto yang sedang melakukan kunjungan luar negeri di Mesir memutuskan segera kembali ke tanah air. Tanggal 15 Mei 1998, pukul 04:41 WIB Soeharto dengan pesawat MD-11 Garuda Indonesia mendarat di pangkalan udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma.
Lima jam sesudah Soeharto tiba di kediamannya, ia menerima Wakil Presiden B.J Habibie, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Wiranto, Menteri Negara Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Faesal Tanjung, Menteri Dalam Negeri R. Hartono, Menteri Negara Seketaris Negara Saadilah Mursjid, Menteri Kehakiman Muladi, Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Kepala Koordinator Intelejen Moetojib, dan Jaksa Agung Soedjono C. Atmanegara.
Saat Soeharto mengadakan pertemuan dengan Menteri-menterinya kegiatan ekonomi di Jakarta sudah lumpuh total. Seluruh pasar, pusat perbelanjaan, dan hampir semua perkantoran termasuk bank di tutup. Bank Indonesia menghentikan kliring. Geliat ekonomi hanya terlihat di lantai bursa.
Sebagian besar kantor baik pemerintahan maupun swasta memulangkan karyawannya sejak pagi. Pada saat itu jalan-jalan utama seperti Jalan Sudirman dan Jalan M.H Thamrin sebagai jantung bisnis Jakarta yang biasanya terlihat kesibukan luar biasa terlihat senyap.
Satu hari setelah menerima menteri-menterinya Soeharto mengadakan pertemuan dengan MPR/DPR. Dalam pertemuan tersebut Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII. Dalam jumpa pers usai pertemuan tersebut Ketua MPR Harmoko menyatakan Presiden Soeharto mengambil tiga tindakan.
Soeharto berjanji melindungi hak hidup warga negara, mengamankan harta dan hak milik rakyat, mengamankan pembangunan dan aset nasional, memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Saat itu Soeharto juga berjanji segera menjalankan reformasi di segala bidang dan mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII.
Tiga hari kemudian tepatnya pada tanggal 18 Mei 1998 pagi, ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR RI. Mereka berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Para mahasiswa tergabung dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), Forum Komunikasi Mahasiswa se-Jabodetabek yang juga bernama Forum Kota (Forkot), Kesatuan Aksi Mahasiswa Reformasi Indonesia, Front Nasional, dan beberapa kelompok lebih kecil.
Hari itu tidak seperti hari-hari sebelumnya, mahasiswa tidak dicegah masuk ke Gedung MPR/DPR. Begitu mahasiswa Universitas Trisaksi memasuki halaman MPR mereka menurunkan bendera merah putih setengah tiang untuk menghormati empat kawan mereka yang tewas tertembak peluru aparat pada tanggal 12 Mei 1998. Lalu mereka menaikan bendera warna putih dengan enam bintang merah yang meneteskan daerah. Karena pada saat itu berita yang beredar ada enam mahasiswa yang tewas.
Pada pukul 15:20 WIB Ketua DPR Harmoko menyatakan bahwa pimpinan DPR meminta Soeharto untuk secara arif dan bijaksana mengundurkan diri. Pernyataan Harmoko yang diteruskan lewat pengeras suara mendapat sambutan gembira dari ribuan mahasiswa. Banyak yang terkejut dengan pernyataan Harmoko mengingat selama bertahun-tahun sejak 1983 Harmoko dikenal sebagai orang dekat Soeharto.
“Pimpinan Dewan dalam rapat pimpinan (rapim) telah mempelajari dengan cermat dan sungguh-sungguh perkembangan dan situasi nasional yang sangat cepat menyakut aspirasi masyarakat tentang reformasi termasuk Sidang Umum dan pengunduran diri Presiden,” kata Harmoko membuka pernyataanya.
Harmoko mengatakan pada 19 Mei 1998 Pimpinan Dewan akan melaksanakan pertemuan dengan pimpinan Fraksi-fraksi. Hasil dari pertemuan tersebut akan disampaikan kepada Presiden.
“Dalam menanggapi situasi tersebut di atas, Pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,”kata Harmoko.
Hal ini menjadi angin segar kedua setelah sebelumnya pada 13 Mei 1998 Soeharto saat melakukan kunjungan di Cairo, Mesir, menyatakan siap mengundurkan diri bila sudah tidak dinginkan lagi oleh rakyat. Hal ini mendapat perhatian besar oleh masyarakat. Pada saat itu seluruh media massa cetak menjadikan pernyataan Soeharto tersebut sebagai Berita Utama, tak terkecual Harian Umum Republika yang menulis Headline dengan judul “Pak Harto: Kalau Saya Tidak Dipercaya Lagi, Silakan”.
Namun angin segar kedua tersebut tidak berlangsung lama. Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Wiranto bertemu dengan Presiden Soeharto di kediaman Cendana pukul 17:05 sampai 18:10. Dalam pertemuan tersebut ia didampingi oleh Kepala Staf TNI AD Jendral Subagyo Hadisiswoyo, Panglima Kostrad Letjen Prabowo Subianto dan Panglima Kodam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin.
Pada pukul 19:50 WIB hanya empat setengah jam Harmoko menyatakan Pimpinan DPR meminta Soeharto untuk mundur, Jendral Wiranto menanggapi pertanyaan itu dengan mengatakan pernyataan Harmoko merupakan sikap dan pendapat individual meskipun pernyataan tersebut disampaikan secara kolektif.
“Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki kekuatan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh seluruh anggota Dewan melalui Sidang Paripurna DRP,” kata Wiranto dalam jumpa pers di Markas Besar ABRI, Jalan Merdeka Barat, waktu itu.
Pada malam harinya pukul 21:00 WIB Partai Golongan Karya (Golkar) mengadakan rapat pleno di kantor pusat Golkar Jalan Anggrek Nelimurni, Jakarta. Dalam rapat tersebut Harmoko dan Ketua DPP Abdul Gafur diminta memberi penjelasan tentang permintaan Pimpinan DPR agar Soeharto mundur. Karena selain pimpinan DPR Harmoko dan Abdul Gafur juga pimpinan di Golkar.
Esok harinya tanggal 19 Mei 1998 MPR/DPR menyelenggarakan Rapat Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi-fraksi membahas permintaan pengundur dirian Soeharto. Pertemuan yang berlangsung selama lima jam itu akhirnya pimpinan fraksi-fraksi mendukung permintaan Pimpinan DPR untuk meminta Soeharto untuk secara arif dan bijaksana mengundurkan diri. Namun mereka menekankan proses pengundur dirian Presiden harus dilaksana secara konsititusional.
Pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 16:30 sekitar 100 mahasiswa perwakilan berbagai perguruan tinggi menemui pimpinan DPR. Dalam pertemuan tersebut pimpinan DPR dan mahasiswa sepakat memberi batas waktu kepada Soeharto untuk mengundurkan diri selambatnya pada hari Jumat, 22 Mei 1998.
(Selanjutnya baca: Janji Soeharto yang tak Terpenuhi)