REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Rabu, 6 Mei 1998. Jantung Kota Solo terbakar. Api berkobar di Stadion Sriwedari yang sedang dijejali 20 ribu manusia.
Api membakar beberapa sudut stadion yang jadi juga menjadi situs bersejarah bagi bangsa Indonesia itu. Stadion tempat berlangsungnya Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama pada 9 September 1946.
Di atas lapangan, sebanyak 22 manusia terus berlari-lari. Mereka bertarung di tengah rusuh para penonton.
Kejadian ini berlangsung sepekan sebelum kerusuhan besar pecah di beberapa kota di Indonesia. Kerusuhan yang kemudian berujung tumbangnya 32 tahun kekuasaan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto.
Momen di Sriwedari sejatinya bukan hajatan politik untuk menjatuhkan tampuk kekuasaan. Sebaliknya, ini hanya sebuah laga sepak bola yang mempertemukan klub milik anak Soeharto (Sigit Harjojudanto), Arseto Solo, melawan Pelita Jakarta dalam Liga Indonesia IV. Tapi, laga sepak bola ini kemudian dijadikan suporter untuk menggalang sebuah gerakan perubahan.
Sepanjang laga, teriakan "reformasi....reformasi...", menggema. Ya, sebagian dari penonton yang berteriak juga merupakan mahasiswa yang sedang menggelorakan tuntutan perubahan politik di Indonesia. Sepak bola jadi salah satu alat perjuangannya.
Api yang menyala-nyala di Sriwedari jadi bukti sepak bola memegang kunci dalam arus reformasi.