REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy dan Ali Mansur
"Di Amerika Latin, batas antara politik dan sepak bola begitu tipis. Sudah banyak pemerintahan yang tumbang akibat kegagalan sepak bolanya."
Kata di atas diucapkan bintang timnas Uruguay, Luis Suarez. Perkataan yang menjadi cermin nyata betapa sepak bola mampu memengaruhi kehidupan politik sebuah bangsa.
Relasi sepak bola dan politik memang tak pernah bisa dipandang sebelah mata. Tiga ribu nyawa yang melayang di El Salvador dan Honduras tahun 1969 jadi bukti laga selama 90 menit bisa berujung pada sengketa politik dua bangsa. Saat itu dua negara di Amerika Utara ini terlibat dalam perang militer usai keduanya memainkan pertandingan sepak bola.
Di Italia, relasi sepak bola dan politik juga begitu lekat. Bagaimana klub Livorno di Italia Selatan mengkasifikasikan mereka sebagai klub kiri yang punya ideologi komunis. Livorno berseberangan dengan klub asal Kota Roma, Lazio dan AS Roma, yang menganut ideologi politik sayap kanan (ultra-nasionalis).
Perbedaan ideologi itu akhirnya membuat mereka saling berseteru. Pada akhirnya, bentrok kerap pecah di sela laga yang mempertemukan Livorno kontra duo Roma.
Kisah hubungan politik dan sepak bola yang paling monumental tentu adalah perseteruan Barcelona dan Real Madrid. Panasnya tensi kedua tim membuat laga kedua tim tak sebatas duel 22 manusia
Sebab sepak bola hanya sebatas media perseteruan. Sedangkan substansi konflik sesungguhnya adalah dendam politik antara rakyat Katalonia dengan Kerajaan di Madrid.
Salah satu puncak konflik terjadi pada 6 Agustus 1936. Saat itu, mobil yang membawa presiden FC Barcelona, Josep Sunyol Garriga, memasuki perbatasan kota Madrid.
Mobil Sunyol yang melaju dengan kecepatan sedang, tiba-tiba diadang oleh sekelompok pria bersenjata lengkap. Mobil pria yang juga tokoh sentral kaum sosialis republikan ini pun menepi. Sang presiden Barcelona ditawan oleh pasukan ultra-nasionalis pimpinan Francisco Franco. Sang presiden Barcelona pun akhirnya dieksekusi mati dengan tembakan yang tepat bersarang di kepala.
Peristiwa ini kemudian jadi simbol kemenangan ultra-nasionalis Spanyol pimpinan Franco atas separatis republikan yang berhaluan kiri di Katalan. Lebih dari itu, peristiwa ini juga dianggap oleh ultras klub sepak bola, Real Madrid, sebagai simbol hegemoni mereka atas FC Barcelona, klub sepak bola representasi masyarakat Katalonia.
Di pihak lain, kenangan atas sosok Sunyol terus bersemayam di hati setiap Barcelonistas. Dendam kebencian terhadap 'kekejaman' Madrid terus terpelihara secara turun temurun di hati para pendukung Barcelona. Perjuangan Sunyol selalu jadi inspirasi mereka untuk menghancurkan hegemoni Madrid, termasuk di sepak bola.
Kisah di Amerika Latin hingga ke Spanyol jadi bukti bahwa sepak bola juga memuat sebuah ideologi. Relasi sepak bola dengan kekuasaan begitu nyata.
Hingga akhirnya tak jarang sepak bola punya peran dalam beberapa peristiwa politik besar dunia. Lantas, bagaimana kaitan sepak bola dengan proses politik di Indonesia?
Nyatanya, pertanyaan di atas punya jawaban bila merujuk peristiwa reformasi 1998. Sepak bola jadi salah satu pemicu lahirnya pergolakan politik yang akhirnya meruntuhkan 32 tahun kekuasaan Soeharto.
Peran Sepak Bola dalam Reformasi 1998
Memang, fakta sejarah soal peran sepak bola dalam melahirkan reformasi 1998 di Indonesia belum banyak diungkap. Padahal reformasi tak hanya dimonopoli suara mahasiswa melainkan juga teriakan suporter sepak bola.
Kisah di Stadion Sriwedari Solo pada 6 Mei 1998 jadi salah satu buktinya. Laga sepak bola digunakan sebagai media untuk menyuarakan tuntutan perubahan. Meski berujung anarkis, aksi suporter dari bangku stadion bersejarah itu mampu memperbesar eskalasi gerakan rakyat pada Mei 1998.
Kala itu, PSSI langsung membaca arah gerakan para suporter ini. PSSI sadar isu yang disuarakan suporter bukan sebatas sepak bola, melainkan tuntutan perubahan kondisi bangsa dan negara.
Tuntutan itu pun direspons PSSI dan pemerintah dengan cara mengunci rapat pintu stadion. Tak ada lagi laga sepak bola pada minggu kedua di bulan Mei 1998.
Tapi aksi menghentikan laga sepak bola tak menyurutkan langkah gerakan para suporter. Mereka malah mengobarkan aksi yang lebih besar. Dari bangku stadion, tuntutan reformasi melebar ke jalan-jalan.
Peristiwa yang terjadi 18 tahun lalu itu masih diingat betuk oleh Yana Umar, salah satu pemimpin suporter Persib Bandung. Dia mengisahkan bagaimana gerakan reformasi yang dirancang dari bangku Stadion Siliwangi, Bandung.
Menurutnya, suporter sepak bola berandil besar dalam arus reformasi. Meski waktu itu skala kekuatan suporter tak sebesar saat ini.
"Waktu saya sudah menjadi dirigen Bobotoh di tribun stadion (Siliwangi) saya mendengar teriakan-teriakan reformasi. Sebenarnya saya tak suka sepak bola dicampuri oleh politik, tapi jujur sepak bola dan politik tidak bisa dipisahkan. Sebagai buktinya tragedi 1998," kisah Yana saat bercerita melalui sambungan telepon, Jumat (13/5).
Salah satu Founding Father Viking Persib Club itu menceritkan, laga Persib pun dibatalkan akibat aksi demonstrasi yang meluas di Kota Bandung pada pekan kedua Mei 1998. Kala itu Persib masih bermarkas di Stadion Siliwangi sejatinya dijadwalkan akan bertanding dengan salah satu klub peserta Ligina.
Yana dan kawan-kawan sudah berada di pinggir stadion lengkap dengan atributnya. "Tiba-tiba dari Panitia Pelakasana (Panpel) mengumumkan jika laga Persib dibatalkan akibat demonstrasi besar-besaran di berbagai penjuru Kota Kembang," kenang Yana.
Pembatalan laga tak membuat pendukung Persib ini surut langkah. Ide di kepala soal reformasi sudah sulit untuk dibendung. Pada akhirnya, pendukung Persib ini memilih untuk berkeliling kota sambil berteriak, "Reformasi!"
"Waktu itu kami tidak langsung pulang, jusrtu kami langsung mengarah ke Gedung Sate ikut demo. Ini murni dari hari nurani kami bukan desakan dari pihak lain," ujar Yana.
Yana mengatakan, semangat reformasi bukan hanya datang dari suporter Persib semata, tapi nyaris seluruh pendukung klub Liga Indonesia lainnya. Walhasil, tak ada yang kecewa sekalipun Liga Indonesia tahun 1998 dibubarkan. Sebab nyatanya, pembubaran malah membantu memperbesar arus gerakan perlawanan.
Suporter pun memilih membaur ke jalan-jalan bersama rakyat dan mahasiswa. Gelombang gerakan akhirnya membesar hingga reformasi menemukan jalannya. Soeharto pun tumbang dari tampuk kekuasaannya.
Pengaruh Piala Dunia 1998
Tapi tak selamanya sepak bola menjadi media konflik. Sebab tak jarang sepak bola justru jadi obat yang mampu melahirkan persatuan.
Dalam kasus Mei 1998 misalnya. Kekuatan sepak bola nyatanya tak hanya mampu membakar gelora perlawanan rakyat Indonesia. Lebih dari itu, sepak bola pula yang menjadi salah satu media penghenti konflik berdarah di Nusantara.
Aktivis mahasiswa 1998, Arya Wicaksana, mengisahkan betapa dahsyatnya pengaruh sepak bola untuk menghentikan kerusuhan pada Mei 1998. Jebolan Universitas Indonesia ini berkisah, selepas mundurnya Soeharto, ada kekhawatiran besar mengenai potensi runtuhnya Indonesia.
Sebab, aksi kerusuhan berlangsung merata di sejumlah kota. "Suasana yang dirasakan saat itu adalah kekhawatiran kerusuhan akan berkepanjangan sehingga bisa mengancam keberlangsungan NKRI," kata Arya kepada Republika, Sabtu (14/5).
Mundurnya Soeharto ternyata tak langsung membuat suasana berangsur normal. Sebaliknya, suasana ketakutan masih melanda masyarakat. "Suasana selepas Mei saat itu masih sangat tegang. Barisan mahasiswa masih tetap bertahan di sejumlah posko-posko yang dibangun," ujar Arya.
Namun semua ketegangan itu mendadak hilang pada 10 Juni 1998. Penyebabnya adalah kick-off Piala Dunia di Prancis. "Harus diakui, saat itu Piala Dunia 1998 sangat signifikan dalam meredakan eskalasi kerusuhan di masyarakat. Fokusnya jadi teralih ke sepak bola," aku Arya.
Memang, lepas 10 Juni 1998, nyaris tak ada lagi kerusuhan besar yang pecah di ibu kota. Api konflik mendadak padam. Fokus sebagian rakyat Indonesia selama sebulan penuh jadi teralihkan ke layar kaca.
Aksi Zinedine Zidane, Ronaldo, hingga Davor Suker kala itu mampu menghibur Indonesia yang tengah berduka. Ketakutan perlahan berganti jadi sukacita berkat sepak bola. Tak pelak, Piala Dunia 1998 jadi salah satu penyelamat bangsa Indonesia.
Mengutip pernyataan seorang Nelson Mandela, "Olahraga memiliki kekuatan untuk mengubah dunia. Ia (olahraga) memikiki kekuatan yang menginspirasi. Memiliki kekuatan untuk menyatukan di saat banyak orang enggan bersatu. Olahraga dapat menciptakan harapan di saat yang tersisa hanya keputusasaan."