REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Nasihin Masha
Hingga kini masih belum ada yang bisa menjawab siapa perumus akhir Pancasila menjadi Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Rumusan final itu merupakan penyempurnaan dari rumusan awal yang dikemukakan Sukarno, yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan.
Saafroedin Bahar, dalam suatu perbincangan menyebutkan, bahwa tak diketahuinya proses perumusan final itu karena sidang Panitia Sembilan -- yang melahirkan rumusan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945 dengan membuang anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah kata “Ketuhanan” dan menggantinya dengan kalimat “Yang Maha Esa” – tak didampingi stenografer.
Kusuma bahkan menyebutkan bahwa sebetulnya Panitia Sembilan itu hanya inisiatif Sukarno pribadi dan bukan merupakan lembaga resmi yang dibentuk BPUPK. Karena itu Radjiman sempat menegur Sukarno dan yang bersangkutan meminta maaf.
Memang kemudian diketahui bahwa penghapusan tujuh kata itu kemudian menghasilkan rumusan final Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan usulan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun hadirnya diksi adil, adab, dan hikmah pada sila kedua, keempat, dan kelima merupakan kosa kata yang lekat dengan konsep Islam.
Pada sisi lain, lahirnya rumusan final itu makin menegaskan bahwa Pancasila benar-benar karya bersama. Dengan demikian penolakan terhadap klaim personal bisa dipahami.
Sebetulnya yang lebih penting dari persoalan kapan Pancasila lahir adalah bagaimana menjadikan Pancasila relevan dan menjadi budaya serta karakter manusia Indonesia.
Persoalan ini merupakan hal yang sangat mendesak di tengah arus globalisasi. Identitas lokal merupakan kebutuhan di era flat ini. Pembudayaan Pancasila ini juga akan menjadi kekuatan intrinsik manusia dan bangsa Indonesia dalam menghadapi era pasar bebas.
Ideologi tak bisa hanya ada di awang, tapi harus riil menjadi laku hidup sehari-hari. Harus diakui, Pancasila baru berhasil sebagai ideologi pemersatu tapi belum berhasil sebagai laku budaya, pandangan hidup, dan identitas nasional. Inilah tantangan kita bersama agar keindonesiaan tetap relevan.
Baca:
Tulisan Lengkap Nasihin Masha
1. Kontroversi Hari Lahir Pancasila (tulisan 1)
2. Buku Yamin Mengaburkan Siapa Pengusul Pertama Pancasila (tulisan ke-2)
3. Desukarnoisasi Orde Baru (tulisan ke-3)
4. Meragukan Pancasila Lahir 1 Juni (tulisan ke-4)
5. Perumus Akhir Pancasila yang Hingga Kini tak Terjawab (tulisan terakhir)