REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Joko Sadewo
Cerita duka macet tak pernah membuat jera masyarakat yang hidup di perantauan untuk tetap mudik Lebaran. Jangankan hanya gangguan macet, hal lain yang lebih buruk dari sekadar macet, tak mampu melawan hasrat menengok kampung halaman.
Mudik Lebaran memang momentum istimewa yang tidak ingin dilewatkan mayoritas masyarakat yang mengadu nasib di kota perantauan. Pada saat Lebaranlah mereka akan lebih mudah bertemu dengan keluarga, sanak famili, kerabat, ataupun teman masa kecil.
Bertemu dan berkumpul dengan keluarga mungkin adalah hal prinsip yang ingin dinikmati para pemudik. Tapi tentu bukan hanya itu saja yang membuat orang sangat ingin mudik.
"Keluarga di kampung sebenarnya sudah tidak ada. Bapak-Ibu ikut saya di Jakarta. Di kampung hanya tinggal adiknya bapak. Tapi tetap kami mudik, karena saya kangen dengan teman dan tetangga waktu di kampung dulu," kata pemudik asal Banyumas, Gunawan.
Apa yang disampaikan itu menunjukkan mudik merupakan cara Gunawan membangun kembali silaturahim dengan teman ataupun tetangga masa lalunya. Dalam bahasa Clifford Geertz, manusia memiliki kehidupan sosial, yang membuat mereka tidak bisa keluar dari jaringan solidaritas sosial yang telah mereka bangun bersama.