Senin 01 Aug 2016 07:30 WIB
Metal versus Orde Baru

Manifesto Baru Musik Cadas

Para penggemar Metallica yang memadati Gelora Bung Karno (GBK), menanti penampilan James Hatfield cs, Minggu (25/8).
Foto: ROL/Sadly R
Para penggemar Metallica yang memadati Gelora Bung Karno (GBK), menanti penampilan James Hatfield cs, Minggu (25/8).

Oleh Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah mencatat, dunia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an bukan perairan yang tenang. Perubahan-perubahan besar mengambil tempat di segala penjuru mata angin. Tirai besi Moskow disibak melalui program glasnost dan perestroika Presiden Mikhail Gorbachev. Tembok beton di Berlin dirobohkan, dan Jerman kembali bersatu. Gerbang Surga di Beijing  digoyang anak-anak muda, Cina kemudian terpaksa membuka dirinya kepada dunia. 

Salahudin Setiawan Djody Nur Hadiningrat, seorang anak bangsawan dan pengusaha sukses dari Solo, Jawa Tengah, mendeteksi elan zaman tersebut di tengah kekuasaan Orde Baru di Indonesia yang kian tertutup dan represif. Dan ia tahu perubahan itu tak akan datang dengan ramah. “Kita sudah melihat, akan ada perubahan yang keras.  The sound of change yang nggak mendayu-dayu. Bamm! Bamm! Bamm!,” ujarnya mengenang saat ditemui Republika di kediamannya, beberapa waktu lalu.

Pada usia 40-an saat itu, Setiawan Djody sudah tak asing dengan musik cadas dan cerdas dari AS. Sejak berteman dengan musisi rock eksentrik AS David Bowie, pada 1970-an, ia kemudian dikenalkan dengan Iggy Pop, penggawa grup The Stooges yang lekat dengan musik punk. Selain itu, Djody juga berkenalan dengan Peter Gabriel, vokalis grup rock progresif Genesis; dan Mick Jagger, vokalis Rolling Stones.

Djody lalu mendirikan perusahaan Airo pada 1980-an guna mendatangkan para musisi yang menurutnya punya intelektualitas itu ke Indonesia. Meski begitu, proyek musik untuk perubahan politik baru secara serius ia mulai pada akhir 1980-an dengan menyokong grup Swami  yang digawangi Iwan Fals, dan ikut serta dalam proyek musik Kantata Takwa.  

Berbekal kedekatannya dengan keluarga Cendana dan pihak militer, Djody saat itu berhasil meyakinkan rezim bahwa lirik-lirik grup tersebut bukan politis meski semua orang menafsirkannya demikian. “Jadi Bento (nama tokoh dalam lagu kontroversial Swami pada 1989) pernah ditanyakan sama Ibu Tin (Ibu Negara Siti Hartinah Soeharto).  ‘Bento iki sopo?’, saya jawab ‘Bento ini bukan individu, tapi adalah umum’. Padahal secara halus kami menyindir para pengusaha yang waktu itu meminta Pak Harto untuk monopoli,” tutur Djody sembari tertawa.  

Bagaimanapun, Djody merasa bahwa yang ia lakukan tak cukup kencang mendorong perubahan. Sampailah ia pada suatu momen di New York, AS, pada awal 1990-an. Saat itu, ia mendatangi konser Metallica yang baru saja menelurkan album swajudul  yang kemudian lebih dikenal dengan nama “Black Album.”  Menyaksikan vokalis sekaligus gitaris James Hetfield, penggebuk drum Lars Ulrich, gitaris Kirk Hammet, dan pemain bass Jason Newsted yang masih dalam kondisi prima. 

Uedan ini, musik ini. Sesuai dengan ritem-ritem perubahan zaman,” kata Djody mengenang kesannya saat menyaksikan pertunjukkan itu. Djody memantapkan hati, anak-anak muda Indonesia perlu dikenalkan dengan manifesto baru para musisi-musisi cadas mancanegara.

Metallica memang bukan tonggak pertama musik metal yang saat itu merupakan evolusi selanjutnya dari rock yang lebih agresif dari genre lainnya. Sejarah musik tersebut dimulai dari gaya bermain rock musisi-musisi AS dan Inggris yang lebih agresif dan kelam dengan suara gitar yang lebih terdistorsi pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an oleh band-band seperti Black Sabbath, Deep Purple, dan Led Zeppelin. Ia kemudian jadi kian agresif pada  pertengahan 1970-an melalui band seperti Motorhead, dan kemudian pada akhir 1970-an lewat band Iron Maiden dan Venom.

Pada 1980-an seiring kian populernya gaya bermusik yang kemudian dinamai “Heavy Metal” tersebut,  muncul subgenre "Glam Metal" yang mengikuti selera pasar dan menjual. Lirik dan melodi dirancang lebih ramah pendengar, dandanan yang eksentrik, serta gaya hidup liar. Band-band seperti Poison, Kiss, Motley Crue, jadi ujung tombak subgenre itu.

Namun di bawah tanah, para puritan melawan. Mereka yang tak sudi (atau belum) melacurkan diri terus menggali logam yang lebih murni. Bereksperimen dengan gaya bermain yang lebih keras serta lebih cepat. Dari scene itu kemudian lahir  band-band semacam Metallica, Slayer, Anthrax, Megadeth, Kreator, Sepultura yang membawakan "Trash Metal", subgenre yang nantinya menelurkan aliran metal ekstrem. Selain bermain lebih cepat dan lebih keras, lirik-lirik politik dan sosial juga disuarakan Metallica, Megadeth, serta Sepultura.

Sedianya, saat disaksikan Setiawan Djody, Metallica sudah tak segahar pada album-album awal. Namun Djody tetap terkesima. Ketika balik ke Tanah Air, ia kemudian mengontak  Firdaus Fadlil, fotografer musik kawakan majalah remaja HAI. “Saya bilang ‘Daus, berangkat ke Amerika sama adikmu! Rundingkan Metallica’,” tutur Djody. 

Dua bulan kemudian, perundingan berbuah, dan Metallica dijadwalkan manggung di Jakarta pada 10 April 1993. Di sela itu, pada 1992, Airo juga mendatangkan Sepultura, band thrash metal dari Brazil yang berhasil menghentak Jakarta dan Surabaya. Di Jakarta, Djody bertugas melobi aparat guna membolehkan konser-konser cadas tersebut. Pertemanannya dengan Pangdam Jaya Mayjen AM Hendropriyono memuluskan izin untuk gelaran tersebut.

Uang yang dikeluarkan Setiawan Djody untuk mendatangka Metallica saat itu sekira Rp 1,7 miliar dengan kurs rupiah kala itu. Akibat kerusuhan, alih-alih untung, Djody meski merogoh kocek dan mengeluarkan tak kurang dari Rp 5 miliar untuk mengganti rugi kerusakan di sekitar lokasi konser.

Konser Metallica juga Sepultura yang didanai Djody kemudian jadi sejarah. Kerap diingat sebagai salah satu lini masa dalam popularitas musik metal Tanah Air. Ia jadi pupuk yang ikut membesarkan apa yang sudah dimulai anak-anak muda melalui tongkrongan-tongkrongan di kota-kota besar Indonesia.

Tak berhenti di konser Metallica, perusahaan Airo juga kemudian menggandeng para pionir heavy metal di Indonesia untuk menelurkan album. Salah satu yang mereka kontrak adalah Rotor. Di bawah Airo, grup yang digawangi Irvan Sembiring tersebut menelurkan “Behind the 8th Ball” yang kemudian jadi karya klasik dalam scene metal Indonesia. 

Apakah segala petualangan itu mendatangkan banyak keuntungan untuk Djody? “Tidak,” klaim dia. Apakah dana banyak yang ia gelontorkan untuk musik tersebut sepadan dengan hasilnya? “Ya, it is worthed,” kata Djody singkat.

Kendati saat ini kerap lebih dipandang sebagai kejadian dalam ranah seni-budaya, Djody mengklaim bahwa sejak awal ia sudah meyakini signifikansi gelaran konser tersebut terhadap perubahan politik Indonesia. Sebagai sarjana filsafat politik, Djody mengatakan ia sudah dilatih melihat tanda-tanda perubahan zaman. “Karena pesan-pesan Metallica dan Sepultura itu pesan sosial juga. Anak muda ingin demokrasi langsung. Itu adalah suatu trigger (pemicu) perubahan,” kata Djody.

Budayawan sekaligus pengamat musik Remi Silado menuturkan, sedianya musik rock yang cenderung agresif punya akar yang jauh merentang dalam sejarah musik Indonesia. ''Nah, khusus untuk Indonesia, saya berani mengatakan lagu pertama rock versi Indonesia adalah lagu "Bengawan Solo" yang dinyanyikan Oslan Husen pada sebuah rekaman di tahun 1960-an. Versi lagu ini dulunya adalah keroncong, tapi oleh Oslan Husen direkam dan dinyanyikan kembali pada saat itu menjadi sebuah lagu rock,'' ujarnya dalam wawancara dengan wartawan Republika Muhammad Subarkah beberapa waktu lalu.

Di Indonesia, musik rock sudah kemudian punya ragam atau warnanya sendiri. Dalam buku legendarisnya mengenai musik Indonesia, Ensiklopedi Musik Indonesia, Remi menyatakan pengaruh rock juga sudah merambahi musik hiburan yang lain sehingga muncul musik dengan genre baru, misalnya dangdut rock, gamelan rock, hingga rebana rock. 

Pada era 1970-an hingga 1980-an, kaum muda Indonesia juga sudah terbius dengan lengkingan distorsi gitar Ian Antono yang tergabung dalam God Bless, atau raungan dan aksi eksentrik Ucok Harahap yang tergabung dalam AKA. Serbuan trash metal pada akhir 1980-an dan awal 1990-an adalah kontinuasi dari sejarah panjang itu.

Pasang-surut kegemaran terhadap musik keras, kata Remi, memang tak lepas dari semangat zaman. ''Jadi, saya sangat percaya musik rock itu tetap digemari. Ini karena sesuai dengan semangat musiknya sebagai musik hiburan milik kaum muda yang lagi mencari jati diri,'' kata dia.

Yang jelas, pada 1993 silam, seorang pemuda kurus berusia 32 tahun dari Solo mengklaim ikut menyaksikan konser Metallica di Lebak Bulus.  Sekira 21 tahun selepas konser tersebut, ia jadi orang nomor satu di Indonesia. Ia jadi presiden pertama yang berani menggunakan kata “revolusi” dalam programnya setelah Bung Karno. “Pak Jokowi mungkin lebih hafal lirik-lirik Metallica daripada saya,” kata Setiawan Djody yang mengaku sudah kenal Presiden Joko Widodo sejak masih berseragam putih biru di Solo. n

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement