Oleh Fitriyan Zamzami
REPUBLIKA.CO.ID, Ujian akhir sekolah tak lama lagi bergulir. Pada 12 April 1993, seluruh kelas akhir sekolah menengah di Indonesia akan memulai rangkaian pra-Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Saat teman-temannya sibuk menyiapkan diri, Stephanus Adjie, saat itu duduk di kelas III SMP punya hajatan lain.
Bersama segerombolan kawan-kawan yang lebih tua, ia punya rencana ke Jakarta. Pada 9 April 1993, menggunakan minibus Misubishi L-300 mereka berangkat dari Yogyakarta. Masing-masing mereka telah menggenggam erat tiket pertunjukan dua hari band metal Metallica di Jakarta yang akan digelar pada 10-11 April 1993.
Adjie yang saat ini adalah penggawa band metal ekstrem Down for Life, sudah lumayan akrab dengan musik keras. Ia dikenalkan dengan para pencabik gitar beroktan tinggi oleh sepupu-sepupunya di Yogyakarta dan kemudian jatuh cinta.
Saat itu, tutur Adjie, demam metal memang tengah melanda banyak anak muda di kota-kota besar Indonesia. “Kalau bukan anak metal nggak keren,” kata dia saat dihubungi Republika, awal pekan ini. Ia merasa, buat yang mengerti bahasa Inggris, ada kedekatan secara lirik dalam lagu-lagu trash metal dengan kondisi kejiwaan pemuda ketika itu.
Buat Adjie saat itu, mendatangi konser Metallica di Jakarta wajib hukumnya. Tiba di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan, para calon penonton sudah memepaki sekitar stadion. Saat alunan instrumen pembuka konser mulai bergaung, tak semua yang memiliki tiket sudah di dalam stadion. Banyak yang masih tertahan di luar.
Begitu suara raungan gitar James Hetfield dan Kirk Hammet menggelegar, massa di luar stadion, terutama para pemilik tiket yang sudah mengular menuju pintu masuk tak tenang. Mereka-berdesak-desakan ingin selekasnya menyaksikan pujaan.
Adjie ingat, para tentara yang saat itu menjaga pintu masuk kemudian jadi beringas. Tongkat pemukul disabet-sabetkan. Teriakan para calon penonton yang memberitahukan bahwa mereka punya tiket tak digubris. Sementara yang tak punya tiket juga ikut merangsek. “Dari situ saya mulai melihat ada yang membakar-bakar. Mobil-mobil juga dijungkir-balikkan,” ujar Adjie mengenang.
Sehubungan umurnya saat itu, Adjie mundur teratur. Ia memilih merelakan haknya menonton pada hari pertama. Baru pada hari kedua, setelah pengamanan diperketat dan pintu masuk dilonggarkan, ia bisa menyaksikan pertunjukan.
Lars Ulrich, penggebuk drum Metallica juga masih ingat jelas saat-saat ia manggung di Jakarta pada 1993 tersebut. Menurutnya saat diwawancarai dalam film dokumenter “Global Metal” (2008), orang-orang sudah memepaki sekitar stadion saat mereka tiba.
Ia juga menyinggung bahwa stadion Lebak Bulus saat itu terletak dekat kompleks tingal orang-orang kaya. “Ada politikus tinggal di sana, ada orang-orang kaya lama juga,” tutur Ulrich.
Dia ingat, ada api berkobar membumbung tinggi di bagian luar stadion seberang panggung. Sedangkan asap hitam pekat menguar di mana-mana. Suara musik keras yang mereka mainkan saat itu tak bisa menyembunyikan sirine polisi dan suara tembakan dari luar stadion.
Saat menyambangi Indonesia pada 2013, Lars kembali mengenang kejadian tersebut. Ia menuturkan, saat konser selesai, mereka harus keluar secara sembunyi-sembunyi dari stadion. Alih-alih kendaraan menterang atawa bus mewah untuk artis, mereka keluar dengan menyaru dalam ambulans.
Setiawan Djody, pemilik perusahaan musik Airo yang mendanai konser tersebut mengiyakan bahwa pihak penyelenggara kurang presisi memperkirakan animo untuk musik metal di Tanah Air. Kapasitas lokasi konser Metallica di Stadion Lebak Bulus yang bisa menampung 20.000 penggemar ternyata tak cukup.
Saat itu, kantong-kantong komunitas metal memang sudah lebih dari setahun mulai bersemi di kota-kota macam Jakarta, Bandung, Surabaya, juga Jogja-Solo. Kebanyakan komunitas-komunitas tersebut punya massa yang tergolong fanatik.
Djody mengenang bahwa penonton saat itu banyak yang berjalan kaki dari daerah-daerah Jabodetabek. Tiket seharga Rp 30.000 sampai Rp 150.000 yang tergolong mahal saat itu tak jadi halangan. Selain itu, banyak anak muda yang tidak memiliki tiket berkeliaran di luar stadion. Sejak hari pertama suasana tegang sudah menyelimuti konser tersebut.
Djody sempat berpikir menghentikan konser saat tahu bahwa situasi di luar stadion sudah di luar kendali. Saat konser belum setengah jalan, Djody dikabari bahwa massa di luar stadion berulah. Warung-warung dirusak, mobil dibakar. Para pemilik tiket, maupun yang tak punya, dipukuli aparat keamanan.
Namun Pangdam Jaya Mayjen AM Hendropriyono Hendropriyono yang saat itu terpaksa turun lapangan berkeras konser harus jalan terus. Kerusuhan kemudian mereda saat konser digratiskan pada sekira pukul 21.00 WIB.
Keesokan harinya, Djody ditelepon Panglima ABRI Benny Moerdani yang menyampaikan pesan dari Presiden Soeharto. “Yang ingin saya luruskan, Pak Harto saat itu tidak marah. Hanya menanyakan saja pada Pangdam (Hendropriyono),” kata Djody saat ditemui Republika di kediamannya, pekan lalu.
Ia lalu mengutarakan niatnya membatalkan konser hari kedua. Namun lagi-lagi, Hendropriyono melarang. Djody mengingat, Pangdam saat itu tak sudi kalah dari “kaum anarkis.”
Selepas konser dan kerusuhan pada hari pertama, kepolisian mencatat sebanyak 58 mobil dibakar. Selain itu, 88 orang juga ditangkap. Korban luka-luka tercatat mencapai 55 orang.
Mengenang kejadian itu saat ini, Stephanus Adjie mengingat ada semacam gesekan kelas dalam kerusuhan. Pasalnya, konser digelar tak jauh dari perumahan elite Pondok Indah sementara para penggemar Metallica tak sedikit dari anak-anak muda kelas pekerja dan kelas menengah ke bawah. Tak hanya itu, kata Adjie, ada juga perasaan tak suka yang sudah mengental pada diri anak-anak muda saat itu pada aparat.
Saat kemudian rezim Orde Baru mengetatkan peraturan soal konser rock dan melarang pemutaran metal di stasiun televisi, kebencian pada status quo yang dipendam anak-anak muda menjadi-jadi. “Pada 1996-1997 jadi puncak-puncaknya,” kata Adjie. Melalui lirik musik metal, sebagian anak-anak muda tersebut mendapatkan semacam pembenaran atas ketaksukaan mereka pada rezim yang represif, menutup informasi, dan koruptif.
Kala Megawati Soekarnoputri tampil dalam panggung politik dan PDI mengusung jargon Merah Total (Metal) menjelang Pemilu 1997, menurut Adjie, banyak anak muda saat itu mau tak mau ikut serta karena merasa punya musuh bersama. “Walaupun kemudian, maaf saja, saat Megawati jadi presiden juga begitu-begitu saja,” ujarnya.
Pada 24 Agustus 2013 silam, Adjie seperti mengulang petualangan masa remajanya. Dengan bus, ia bertolak bersama rombongan dari Solo menuju Jakarta guna menyaksikan Metallica yang kembali menyambangi Indonesia.
Di tengah perjalanan, kata Adjie, ia mendapat telepon dari Arian Arifin alias Arian 13, vokalis grup metal Seringai. “Arian bilang ‘Djie, elu hafal lagu Ace of Spades-nya Motorhead, nggak?’,” ujar Adjie. Arian kemudian meminta Adjie menghafal lirik lagu tersebut saat paham bahwa Adjie tak hafal.
Sepanjang perjalanan, Adjie belajar itu lagu. Hanya ia yang tahu bahwa perintah itu sehubungan dia akan digandeng Arian untuk naik panggung membuka konser Metallica, satu hal yang menurut Adjie kerap ia bayangkan namun sukar ia percayai bakal jadi kenyataan.
Penampilannya lancar jaya. Penonton yang sedianya sudah tak sabar menyaksikan Metallica kasih apresiasi dengan tepukan riuh. Menjelang akhir konser 2013 tersebut, Lars Ulrich, drummer Metallica, melihat ada kibasan bendera merah putih dengan tulisan “Metallica” di antara penonton barisan depan. Ulrich kemudian turun panggung , meminta bendera itu, dan membentangkannya sembari berpose dengan anggota band lainnya di atas panggung. Bendera itu, kata Adjie, adalah yang ia bawa bersama rombongannya dari Solo. “Saya mau menangis saat itu…” n