Pemerintah Belanda kini juga tengah memberi ruang untuk kembali membuka catatan sejarah tentang kejahatan militernya di Indonesia. Pemerintah Belanda, setelah geger kehadiran buku Remy Limpach berjudul 'De Brandende Kampongs van General Spoor' pada September 2016, menyatakan siap untuk menyelidiki apa yang dikatatakan Remy bahwa pemerintah Belanda melalui angkatan bersenjata telah menggunakan 'kekerasan terstruktur yang ekstrem' selama periode 1945-1949.
Hasil penyelidikan Sejarawan Swiss-Belanda itu menyebutkan, saat perang dekolonial di Hindia Belanda, (dalam perspektif sejarah Indonesia perang pascakemerdekaan), jelas terjadi aksi kekerasan terhadap masyarakat sipil tak berdosa. Perang tersebut telah memakan korban jiwa sekitar 100 ribu warga Indonesia dan hampir 5.000 tentara Belanda tewas. Remy Limpach menambahkan, tentara Belanda juga dengan sadar telah melakukan pembakaran kampung-kampung, pemerkosaan, dan pembunuhan massal di seluruh wilayah di Indonesia.
Sejauh ini versi resmi pemerintah Belanda menyatakan bahwa kekerasan hanya terjadi sporadis sebagai ekses belaka. Hal itu menjadi pegangan pemerintah Belanda, mengingat pada 1969 lahirnya sebuah catatan 'Excessennota'. Maksud catatan tersebut, tindakan selama kurun itu adalah hal yang spontan, tidak terstruktur, dan tidak berdasarkan perintah negara. Namun hasil penyelidikan Limpach, dalam buku tersebut menunjukkan bahwa tentara Belanda melakukan pembunuhan dan penyiksaan besar-besaran, secara terstruktur, terorganisasi dan dalam sepengetahuan negara.
"Selama ini Belanda disayangkan selalu sulit untuk membongkar halaman kelam sejarahnya. Saya kira penyelidikan ini merupakan ancang-ancang menuju kepada pengakuan," kata Harry van Bommel, anggota parlemen Belanda dari SP. Sementara itu, anggota parlemen dari D66, Sjoerd Sjoerdsma, juga mengatakan, negara Belanda memiliki kewajiban moral dan politik untuk menunjukkan rasa tanggung jawabnya.
Sementara itu, Pemerintah Belanda menyatakan siap mendengar apapun hasil penelitian terhadap kejahatan militernya di masa lalu. "Kami perlu mendengar, dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi" kata PM Belanda, Mark Rutte kepada wartawan dalam konferensi pers penyelidikan konflik beradarah di Indonesia yang didukung pemerintah Belanda untuk pertama kalinya, Jumat, (2/12). Ia mengamini bahwa konflik berdarah era kolonial itu sebagai sesuatu yang kelam dalam sejarah dan merupakan masa yang menyakitkan bagi semua orang.
Begitu juga dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Bert Koenders. Penyelidikan itu penting Untuk menerapkan pelajaran dari masa lalu ke dalam kebijakan sekarang dan masa depan. "Penting bagi negara berkaca kepada sejarah, terlebih yang berkaitan dengan negara lain," kata dia.
Penyelidikan baru yang didukung pemerintah Belanda ini dilakukan oleh tiga lembaga Belanda termasuk National Institute for Military History, The NIOD Institute for War, dan Holocaust and Genocide Studies. Kabarnya, kedatangan Rutte ke Indonesia beberapa waktu lalu, sekaligus melakukan pembicaraan kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta izin akses para peneliti mengunjungi lokasi-lokasi yang kemudian akan dijadikan objek penyelidikan.