Serdadu Belanda diketahui saat itu tengah mengumpulkan para pemuda dan remaja di atas 15 tahun ke salah satu lapang rumput. Diinterogasi dan kemudian digiring ke 'tempat eksekusi' yang berada beberapa ratus meter dari kampung. Tak lama bersembunyi di rumah, Tijeng menganggap ikut mencari persembunyian di luar menjadi satu-satunya jalan untuk tetap selamat. Tijeng berlari meninggalkan desa, bersama calon janda lainnya, mencari-cari tempat sembunyi sembari tetap menyusui Karmas.
Mak Tijeng bertahan dalam persembunyian. Ia bersembunyi hingga tak terasa senja hampir menjemput gelap. Azan Maghrib mengantarkan Tijeng kembali ke rumah. Ia menganggap suasana mungkin sudah kembali aman. Di kampung itu, baru diketahui Tijeng, para warga yang didominasi para perempuan mulai ramai. Mereka saling menanyakan kondisi dan keberadaan suami maupun anak. Di saat itu, mertua Tijeng, ayahanda dari Nimung, memberi kabar.
"Suami saya udah meninggal, kata Bapak," ujar Mak Tijeng.
Bersama sang mertua, Tijeng menjemput sang suami yang sudah tak bernyawa di suatu 'tempat pembantaian'. Bersama mertua pula, Tijeng menggali kubur sang suami ke peristirahatan terakhir di halaman rumahnya. Lubang kubur seadanya itu digali dengan tangan sendiri, sama seperti yang dilakukan warga lain terhadap anggota keluarganya yang tewas. Lubang kubur yang tak mampu dibuat begitu dalam, konon yang membuat kampung Rawagede beberapa hari dilingkung bau amis darah dan jasad manusia-manusia yang tewas mengenaskan.
"Sejak saat itu, saya ikut turun ke ladang, menjadi petani di sawah dan ikut menjual hasil panen," ungkap Mak Tijeng. Tak ada niat untuk mencari pengganti suami. Ia yakin, meski sulit, hidup terus dijalaninya bersama sang anak. Pascapembantaian, bertahun-tahun Rawagede dikenal dengan istilah kampung janda--alasan lain yang membuat Tijeng bingung mencari pengganti sang suami.
Sekilas pembantaian Rawagede
Pasukan Belanda dipimpin Mayor Alphons Wijman membawa sekitar 300 tentara Belanda mengeledah rumah warga di Rawagede. Mereka mencari pejuang Republik, Kapten Lukas Kustario yang merupakan komandan Kompi Divisi Siliwangi. Saat itu Rawagede, Karawang dijadikan tempat persembunyian Kapten Lukas. Konon gerakan Kapten Lukas Kustaryo dibaca oleh NICA Belanda karena ada laporan dari NEFIS (intelijen Belanda) bahwa Kapten Lukas berada di sebuah desa bernama Rawagede, sebuah desa di 15 kilometer arah barat Karawang.
Serdadu datang menjelang fajar, rumah-rumah digeledah, namun yang dicari tidak ada. Pasukan Mayor Wijman memerintahkan penduduk laki-laki berkumpul di tanah lapang untuk ditanya mengenai keberadaan Lukas. Kapten Lukas, yang dicap sebagai 'Bandit Van Karawang' tak ditemukan. Para penduduk di Rawagede tidak mau angkat bicara ke mana Kapten Lukas Kustario pergi. Para penduduk bungkam dengan sejumlah alasan.
Satu persatu akhirnya mereka disuruh maju, dan beberapa orang disuruh menggali kuburan, Mayor Alphons Wijman memerintahkan menembak mati mereka semua. Ini dilakukan tentara Belanda yang tengah dalam kebuntuan. 'Upacara pencabutan nyawa' juga dilakukan Belanda agar daerah lainnya mendapat pelajaran untuk tidak mencoba menutupi informasi kepada Belanda.
Belanda langsung melakukan eksekusi dalam kelompok-kelompok kecil, terdiri dari setiap lelaki yang berumur di atas 15 tahun. Dalam berbagai catatan, masing-masing kelompok terdiri dari 10-30 orang. Menurut data Yayasan Rawagede, jumlah warga yang menjadi korban sekitar 431 korban.
Pembantaian Rawagede disebut-sebut merupakan tindakan dalam peristiwan paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949. Kasus Rawagede kerap disandingkan dengan pembantaian serupa puluhan ribu dalam kasus pembantaian Westerling di Sulawesi. Kini setidaknya masih ada sekitar 53 ahli waris, yakni anak-anak dari 40 korban pembantaian di Rawagede yang tengah menyiapkan gugatan untuk menerima ganti rugi.
Bersambung..
Baca:69 Tahun Tragedi Rawagede: Uang Ganti Rugi dari Belanda Disunat (Bagian 3)