Bagi Profesor Liesbeth Zegveld, permintaan maaf pemerintah Belanda dan kompensasi yang diterima para janda baik di Rawagede, Jawa Tengah, dan Sulawesi, hanya langkah kecil yang baru berhasil dilakukan. Namun demikian, dikabulkannya gugatan para janda di Rawagede, ujarnya, bisa menjadi pintu masuk bagaimana bangsa Indonesia dapat menagih sesuatu yang lebih besar kepada pemerintah Belanda, dalam hal ini menagih kehormatan dan ganti rugi yang sepadan.
Liesbeth merupakan pengacara senior asal Belanda yang digandeng Yayasan KUKB untuk memajukan gugatan ke pengadilan Belanda bagi para janda korban pembantaian 1945-1949. Ditemui di Karawang, Liesbeth yang pada penghujung Oktober datang ke Indonesia, melihat ada persoalan kemanusiaan yang perlu dituntaskan bersama antara korban, pemerintah Indonesia, dan juga pemerintah Belanda. "Kasus Rawagede sendiri pernah menjadi kabar yang begitu menghebohkan di Belanda. Namun perlahan surut dari perhatian media. Bahkan, tak banyak yang tahu warga Belanda tentang sejarah negaranya yang terjadi pada 1945-1949," ujar Liesbeth yang memang dikenal sebagai pengacara dengan spesialisasi pelanggaran HAM.
Liesbeth mengakui apa yang dikerjakannya bukan semata soal uang. Ia hanya membawa keyakinan, semua orang pasti peduli terhadap HAM dan hukum. Di Belanda, kata dia, isu mengenai peristiwa 1945-1949 kerap ditanggapi dingin pemerintah dan masyarakat. Meski Belanda dikenal sebagai kota hukum di dunia, kata dia, ada saja yang ingin mencoba melupakan kasus yang terjadi di Indonesia, yang dianggap Belanda masih menjadi bagian dari wilayahnya pada masa itu (Hindia-Belanda).
"Biasanya mereka para veteran," tegasnya.
Liesbeth, dalam kesempatan tersebut juga menyayangkan kedatangan rombongan pemerintah Belanda pertengahan bulan lalu ke Indonesia tanpa ada sepatah kata pun mengenai persoalan kemanusiaan yang pernah terjadi di masa lalu. Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, kata Liesbeth, merupakan seorang sejarawan yang semestinya tertarik dengan kasus-kasus di masa lalu. Namun demikian, kedatangan pemerintah Belanda ke Indonesia diketahui lebih didominasi kepentingan bisnis.
"Anda tidak bisa berbisnis dengan baik tanpa mempedulikan tentang HAM. Mereka tida memperhatikan itu," tegas Liesbeth yang juga sebelumnya menangani gugatan hukum dalam pelanggaran HAM di Irak, Libya dan Bosnia-Herzegovina. Namun demikian, ia kini menyambut keputusan terbaru pemerintah Belanda yang mendukung penyelidikan terhadap kejahatan militer sepanjang 1945-1949. "Kami sudah tahu banyak, tapi sudah waktunya bagi pemerintah untuk mengambil tanggung jawab sendiri dan memberikan dukungannya," katanya.
DAFTAR GUGATAN RAKYAT INDONESIA DI MEJA PENGADILAN BELANDA
DIKABULKAN:
32 Janda, dan 1 korban pemerkosaan oleh lima orang serdadu KNIL
DALAM PROSES:
Sulawesi Barat
Polewali 6 orang
Majene 11 orang
Sulawesi Selatan
Pinrang 124 orang
Sidrap 37 orang
Parepare 3 orang
Barru 11 orang
Makassar 3 orang
Gowa 15 orang
Takalar 6 orang
Jeneponto 11 orang
Bulukumba 141 orang
Sumatra
Rengat 8 orang
Padang 1 orang
Jawa
Rawagede 53 orang
Sumber: Yayasan KUKB
Bersambung..
Baca: 69 Tahun Tragedi Rawagede: Pemerintah Belanda Selidiki Kejahatan Perang (Bagian 6-Habis)