REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Iqbal, Wartawan Republika
Keinginan umat Islam soal pembangunan Masjid Istiqlal sejatinya telah dimulai pada 1944. Ketika itu, para ulama berkumpul di rumah proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia Sukarno di Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Mereka mengusulkan agar dibangun satu masjid jami di Ibu Kota. Menanggapi permintaan para ulama, Bung Karno menyatakan persetujuannya. “Jangan kecil-kecil, kita bangun yang besar,” katanya.
Selepas itu, pengumpulan dana diinisiasi. Kumpul-kumpul, dana yang ada saat itu baru setengah juta rupiah. Sukarno berdecak. Bukan kagum, melainkan karena fulus itu bakal kurang.
Padahal, Sukarno ingin masjid jami di Jakarta ini benar-benar besar. Tidak menggunakan kayu dan genteng, melainkan pakai baja dan beton. Tiang-tiangnya kuat menancap ke bumi.
“Menara Masjid Istiqlal pun akan mencakar ke langit. Dibuat daripada material yang tahan ratusan, bahkan ribuan tahun. Tiap-tiap engkau datang ke hadapan Masjid Istiqlal, engkau akan berkata: Alhamdulillah, aku adalah orang, putra Indonesia, dan Indonesia memiliki masjid demikian ini yang menjadi kekaguman dunia,” kata Sukarno dalam sambutan pemancangan tiang pertama Masjid Istiqlal pada 1961 seperti tertuang dalam potongan cerita pembangunan Masjid Istiqlal yang bisa dibaca di dinding koridor barat, Teras Raksasa Masjid Istiqlal, Rabu (22/2).
Namun, jauh sebelum pemancangan tiang pertama pada 1961, fakta yang tidak dapat dinafikan adalah perihal anggaran negara. Saat itu, pembangunan Masjid Istiqlal pada masa-masa awal tak dapat sepenuhnya mengandalkan APBN.
Menurut Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang, begitu banyak masalah ekonomi dan moneter yang dihadapi Indonesia. Pada saat yang sama, pergolakan dalam menghadapi Irian Barat semakin membikin ruwet perekonomian Indonesia.
Dalam sebuah pidato radio pada September 1952, Sumitro mengemukakan, "Dalam lapangan perekonomian nampak suatu ketegangan. Harga-harga dalam pasar dunia turun, kedudukan Indonesia sebagai eksportir makin jelek. Produksi di dalam negeri sendiri seret jalannya. Pemasukan barang berjumlah demikian banyak hingga melebihi jumlah nilai ekspor. Persediaan-persediaan moneter berupa devisen terpaksa digunakan. Keadaan keuangan negara membahayakan, tetapi tidak diketahui orang bagaimana besar bahaya yang sebenarnya. Dalam keadaan seperti itulah kabinet mulai menjalankan kewajibannya."
Dalam RAPBN 1952, Sumitro beserta otoritas pemerintah mencatat defisit sebesar Rp 4,3 miliar. Usaha-usaha menyusun RAPBN dan neraca pembayaran dapat dianggap luar biasa kompleksitasnya. Apalagi, situasi politik dan ekonomi yang dihadapi waktu itu.
Setahun kemudian, yaitu 1953, situasi keuangan negara semakin sulit seiring penurunan pendapatan negara. Untuk menyiasatinya, tak dapat dielakkan lagi perlunya dilakukan berbagai langkah penghematan dalam APBN 1953. Beberapa kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Agama, tidak memperoleh alokasi anggaran belanja modal untuk melaksanakan proyek-proyek pembangunan yang seharusnya terdapat dalam lingkungan kementerian bersangkutan.
Pada tahun yang sama, Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal memperkirakan anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 20 juta. Akan tetapi, dalam waktu tiga tahun, nominalnya meningkat menjadi Rp 68 juta.
"Kenaikan anggaran ini boleh jadi disebabkan harga-harga bahan yang meningkat atau detail masjid yang tercermin dari desain masjid yang telah ditetapkan (pemenang hasil sayembara)," kata Akhir Matua Harahap dalam artikelnya "Sejarah Masjid Istiqlal".
Dalam kurun waktu 1953-1956, terjadi berbagai pemberontakan di daerah. Penyelesaiannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara sumber pendapatan negara belum meningkat signifikan.
Pada 1955 diadakan pemilu pertama yang notabene membutuhkan anggaran negara. Dengan memperhatikan berbagai peningkatan kebutuhan negara dengan beragamnya alokasi pengeluaran membuat alokasi anggaran pembangunan Masjid Istiqlal terpengaruh.