REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa, Wartawan Republika
Cita-cita membangun masjid nasional sudah mengendap di kalbu Muslim Indonesia sejak negara ini memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 silam. Namun, niat ini baru konkret terlaksana tiga dekade atau tepatnya 33 tahun kemudian dengan berdirinya Masjid Istiqlal di Jakarta Pusat pada 22 Februari 1978.
Awalnya, ide pembangunan masjid nasional pertama kali dibicarakan pada 1950 atau hanya beberapa bulan setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda. Menteri agama kala itu, KH Abdul Wahid Hasyim (ayahanda Gus Dur), mengundang sejumlah tokoh Muslim, seperti H Agus Salim, H Anwar Tjokroaminoto (putra HOS Tjokroaminoto), dan Ir Sofwan. Pertemuan para tokoh ini kemudian ditindaklanjuti dengan rapat akbar yang mengumpulkan sekitar 300 ulama di bawah pimpinan KH Taufiqurrahman di gedung Deca Park, Jakarta.
Pada 1953, hasil rapat yang berintikan kehendak membangun masjid nasional disampaikan kepada presiden Sukarno. Proklamator RI menyambutnya gembira.
Pada 7 Desember 1954, Yayasan Masjid Istiqlal dibentuk. Gedung Deca Park di Lapangan Koningsplein (rakyat Jakarta masa itu menyebutnya Lapangan Gambir) menjadi saksi bisu peresmian yayasan tersebut di hadapan notaris Elisa Pondag. Kini, Gedung Deca Park sudah tak berbekas lantaran ikut digusur akibat proyek pembangunan Monumen Nasional (Monas).
Nama “Istiqlal” pun diambil dari kata dalam bahasa Arab yang bermakna ‘merdeka.’ Rumah ibadah ini dimaksudkan sebagai simbol rasa syukur segenap bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang merupakan rahmat Allah SWT.
Presiden Sukarno ingin Masjid Istiqlal menjadi kebanggaan Indonesia bukan hanya di tingkat nasional, melainkan internasional atau regional. Karena itu, penentuan lokasi Masjid Istiqlal tidak hanya bernuansa simbolis, melainkan juga politis (siyasah).
Penentuan lokasi ini membuat rencana pembangunan Masjid Istiqlal sempat tertunda. Mandeknya rencana pembangunan tersebut lantaran terjadi perdebatan antara presiden Sukarno dan wakil presiden Mohammad Hatta.
Bung Karno mengusulkan lokasi terletak di atas bekas benteng Belanda, Frederick Hendrik, yang ada di dalam Taman Wilhelmina. Taman ini dibangun gubernur jenderal Van Den Bosch pada 1834. Letaknya di antara Jalan Perwira, Jalan Lapangan Banteng, Jalan Katedral, dan Jalan Veteran.
Memang, dalam periode 1950 sampai 1960, Taman Wilhelmina dikenal sepi, gelap, kotor, dan kumuh. Tembok-tembok sisa bangunan benteng Frederick Hendrik dipenuhi lumut yang menjalar dan rumput ilalang tumbuh rimbun di sekelilingnya. Sangat tak sedap dipandang mata.
Dengan kata lain, Bung Karno ingin memusatkan bangunan-bangunan monumental, termasuk Monas dan Masjid Istiqlal, agar tak berjauhan. Di saat yang sama, Bung Karno terkesan ingin mengganti bangunan-bangunan peninggalan kolonial dengan bangunan-bangunan baru yang menampilkan identitas keindonesiaan.
Sementara itu, Bung Hatta memiliki ide yang lebih pragmatis. Ia ingin agar lokasi pembangunan Masjid Istiqlal berada di tengah-tengah umat Islam, khususnya kaum Muslim Jakarta. Bung Hatta mengusulkan lokasinya yaitu di Jalan Thamrin, yang ketika itu letaknya dikelilingi kampung.
Menurut Bung Hatta, dengan membangun masjid besar di sekitar Lapangan Gambir, maka umat Islam Jakarta yang kebanyakan tinggal jauh dari sana akan kesulitan. Untuk melaksanakan shalat Jumat, misalnya, mereka akan terpaksa menempuh perjalanan jauh. Lantaran itu, mengapa tidak mendekatkan masjid kepada mereka? Begitu kira-kira pemikiran Bung Hatta.
Alasan lainnya, Bung Hatta telah membuat kalkulasi pembongkaran benteng Frederick Hendrik membutuhkan biaya yang tak sedikit. Apalagi, Indonesia baru saja keluar dari kancah perang mempertahankan kemerdekaan. Tentunya, dana pemerintah dirasakannya lebih bijak bila dihemat demi manfaat yang dirasakan langsung oleh rakyat.
Namun, Presiden Sukarno bergeming. Orang nomor satu di Indonesia itu memutuskan, pembangunan Masjid Istiqlal berlokasi di lahan bekas benteng Frederick Hendrik. Ternyata, Sukarno punya argumen lagi, yakni ingin menghadirkan nuansa kebinekaan.
Sebab, tepat di seberang bekas benteng tersebut telah berdiri Gereja Kathedral. Bung Karno ingin agar kelak dunia bisa menyaksikan, inilah simbol kerukunan dan keharmonisan kehidupan antarumat beragama di Indonesia. Adapun lokasi usulan Bung Hatta tersebut, kelak menjadi tempat berdirinya Hotel Indonesia, gedung pencakar langit tertinggi se-Asia pada zamannya.
Maka, dimulailah kerja pembangunan Masjid Istiqlal pada 24 Agustus 1961. Ini seiring dengan pembangunan Monas. Sehingga, dalam bayangan Sukarno, para tamu negara atau turis yang datang ke Jakarta bisa melihat landmark Ibu Kota RI ini dari udara. Di zaman Sukarno pula, bandar udara internasional Jakarta dipindah dari Kemayoran ke Halim Perdanakusuma.
Sebagai seorang insinyur, Presiden Sukarno tahu betul pentingnya simbol-simbol bersemayam dalam rancang bangunan. Karena itu, dia menetapkan menara Masjid Istiqlal mesti setinggi hampir 70 meter atau setara 6.666 cm. Ini menyimbolkan jumlah ayat suci Alquran.
Membangun Masjid Istiqlal berarti meruntuhkan benteng Frederick Hendrik yang dibangun VOC lantaran terusik oleh pejuang-pejuang Muslim. Benteng ini berdiri sebagai tempat Belanda bertahan dari gempuran pasukan Jayakarta maupun pasukan Pribumi dari Banten dan Mataram. Benteng ini selesai dibangun dalam masa pengganti JP Coen, yakni van Diemen.
Sejarah mencatat, puluhan ribu penduduk Pribumi dikerahkan untuk membangun benteng Frederick Hendrik. Belum lagi tambahan tenaga ribuan rakyat yang digiring dari luar Jawa. Banyak korban jiwa jatuh dari kerja paksa ini.
Karena itu, Presiden Sukarno ingin menyimbolkan bahwa inilah “istiqlal”-nya umat Islam Indonesia, khususnya Jakarta, terhadap perbudakan kolonial. Di atas puing-puing warisan penjajah Belanda, kini berdiri megah Masjid Istiqlal kebanggaan Indonesia.
Sebelum ditetapkan Presiden Sukarno menjadi lokasi Masjid Istqlal, kawasan sekitar benteng ini memang dilirik banyak pengusaha. Luasnya cukup menggiurkan, yakni enam hektare, dan berlokasi sangat strategis.
Sejumlah pengusaha ingin mendirikan lokasi tempat hiburan atau bioskop dan bar di sana. Untungnya, keburu didahului usulan pendirian masjid nasional yang kemudian dikuatkan dengan keputusan Bung Karno itu.
Wilhelmina Park di Batavia pada 1931. Di taman ini lokasi berdirinya Masjid Istiqlal. (Foto: Istimewa).
Kepada Republika (5 Maret 2000), seorang pengurus Masjid Istiqlal Mohd Subakir menuturkan kisah menarik. Dinding bekas benteng Frederick Hendrik ternyata begitu kokoh dan tebal sampai-sampai butuh satuan-satuan Zeni ABRI-Angkatan Darat untuk meruntuhkannya dengan dinamit.
Orang-orang Betawi kerap menyebut benteng tersebut sebagai “gedung tanah.” Alasannya, di bawah benteng Frederick Hendrik ada terowongan bawah tanah, selain kamar-kamar berdinding kokoh.
Konon, terowongan itu berdinding beton. Bila diikuti, ujung terowongan bisa mencapai bawah benteng VOC di Pasar Ikan, yang berjarak sekitar 12 km. Terowongan bawah tanah difungsikan dalam keadaan darurat atau bilamana diperlukan. Misalnya ketika ada ancaman atau pengiriman bala bantuan militer VOC. Titik lokasi benteng ini dahulunya terletak di dekat pintu air atau di samping kiri halaman Masjid Istiqlal kini. Ancar-ancarnya dekat gardu satpam Masjid Istiqlal.
Masih menurut Subakir, ada satu bekas benteng lainnya di bagian selatan Masjid Istiqlal. Tepatnya di depan gedung Pertamina. Dari hasil-hasil penemuan selama pembongkaran benteng Frederick Hendrik, di titik itu juga ada terowongan bawah tanah yang menuju arah selatan atau Berland di Matraman, Jakarta Pusat. Dalam sejarahnya, kawasan Berland pernah menjadi pusat kegiatan militer Belanda.