Sabtu 11 Mar 2017 15:10 WIB
Surat Perintah Sebelas Maret

Amuk Sukarno pada Soeharto

Soekarno dan Soeharto
Foto: Arsip Nasional RI
Soekarno dan Soeharto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting, Wartawan Republika

Pagi hari, 12 Maret 1966, dari Istana Bogor, Presiden Soekarno naik helikopter menuju Istana Negara di Jakarta. Ia akan membuka rapat pimpinan ABRI di Istana Negara. Rapat itu dihadiri lengkap oleh semua unsur petinggi TNI dan Polri, kecuali Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. 

Suasana hari itu sangat berbeda dengan sehari sebelumnya ketika Bung Karno terpaksa harus lari dari sidang kabinet menyelamatkan diri ke Istana Bogor. Saat itu, istana dikepung pasukan bersenjata, namun tanpa identitas kesatuannya. 

Pada rapat pimpinan ABRI itu, Bung Karno akan membacakan surat perintah yang malamnya sudah dia berikan kepada Letjen Soeharto. Surat perintah itu tertanggal 11 Maret 1966. Belakangan disebut sebagai Supersemar. 

Presiden Soekarno merasa heran karena orang yang dia berikan perintah, yakni Letjen Soeharto, malah tidak hadir. Padahal, panglima angkatan laut, angkatan udara, dan kepolisian hadir semua. 

Soekarno pun mencari tahu mengapa dalam keadaan sangat penting, Letjen Soeharto selalu tidak hadir. Pertama, sidang kabinet, 11 Maret 1966, saat istana dikepung pasukan liar yang diduga dari angkatan darat. Di situ, Letjen Soeharto tidak hadir. Kedua, saat Rapim ABRI 12 Maret itu, lagi-lagi Soeharto pun tidak hadir. Ada sesuatu yang janggal, panglima angkatan darat tidak hadir dalam Rapim ABRI. 

Bung Karno semakin terkejut ketika diberitahu bahwa Men/Pangad Letjen Soeharto telah membuat Surat Keputusan (SK) Presiden/PANGTI ABRI/Mandataris MPRS/ PBR No 1/3/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Bung Karno marah. Ia menilai, tindakan Soeharto ngawur dan bertentangan dengan isi serta jiwa Supersemar. Maka, Bung Karno memerintahkan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II J Leimena untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto sebagai pemegang Supersemar. 

Trio jenderal, yakni Brigjen M Jusuf, Mayjen Basoeki Rahmat, Brigjen Amir Machmud, dipanggil ke Istana Bogor. Di sana, Presiden menumpahkan amarahnya. “Kamu nyeleweng! Kamu bikin laporan salah kepada Soeharto!” Kesaksian itu dikemukakan M Hanafi, mantan dubes di Kuba, dalam buku biografinya. Ia mengaku, berada di Istana Bogor saat peristiwa itu terjadi. 

Menurut Soekarno, sebagaimana dikatakan oleh Amirmachmud, pembubaran partai adalah wewenang presiden. Tapi, menurut Amirmachmud, apa yang dilakukan Letjen Soeharto sudah sesuai dengan Surat Perintah 11 Maret, yaitu demi keselamatan bangsa dan negara, serta demi keselamatan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 

Mengapa Presiden Soekarno memanggil trio jenderal ke Istana Bogor? Karena, melalui ketiga jenderal ini pula, Letjen Soeharto memberikan pesan kepada Presiden Soekarno. Ketiganya meminta Bung Karno memberikan kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengatasi masalah keamanan setelah istana dikepung pasukan liar. 

Soekarno pun mengeluarkan Surat Perintah (SP) 13 Maret 1966 yang intinya mencabut kembali Supersemar. Presiden Soekarno mengutus Leimena dan Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut merangkap Komandan Korps Komando AL Mayjen KKO Hartono untuk menyerahkan SP 13 Maret 1966 kepada Soeharto di rumahnya. 

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Soeharto tak menggubris perintah kedua ini. “Sampaikan kepada Presiden, segala tindakan yang saya ambil adalah tanggung jawab saya sendiri!” ujar Soeharto. 

Bagaimana isi Surat Perintah 13 Maret 1966? SP 13 Maret terdiri atas tiga hal. Pertama, mengingatkan bahwa SP 11 Maret itu sifatnya teknis/ administratif, tidak politik. Semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS. 

Kedua, Letjen Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan tindakan yang melampaui bidang politik sebab bidang politik adalah wewenang langsung Presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak Presiden semata-mata. Ketiga, Letjen Soeharto diminta datang menghadap Presiden di istana untuk memberikan laporannya. 

Menurut Slamet Sutrisno, dosen sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Soeharto tidak melaksanakan dengan baik perintah untuk menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden. Ia juga tidak melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi yang secara eksplisit diperintahkan dalam SP 11 Maret. 

Sementara itu, mantan Waperdam I Soebandrio menyatakan, dalam naskah asli SP 11 Maret sebenarnya tertera poin, setelah keadaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno. Hal ini dikuatkan oleh Letjen Kemal Idris, “Itu biasanya kalau ada surat perintah untuk melaksanakan tugas dan kalau sudah selesai, ya harus lapor.” 

Namun hal itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto, seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk mendapatkan kekuasaannya sendiri.” Maka, tak mengherankan jika sampai ini, Arsip Nasional Republik In donesia (ANRI) tidak memiliki naskah asli Surat Perintah 11 Maret 1966 dan Surat Perintah 13 Maret 1966. Hanya Soeharto, sebagai penerima dua surat itu, yang mengetahui di mana kedua surat saksi sejarah bangsa. Semua pelaku dan saksi kedua surat penting itu kini telah tiada. Itulah sisi kelam sejarah bangsa pada masa peralihan dari Soekarno kepada Soeharto.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement