REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika
Orang-orang besar, mereka yang memiliki pemikiran-pemikiran akbar, kerap kali hidup melampaui masa kehidupan mereka. Baik lewat tulisan, gagasan, maupun penemuan-penemuan. Demikian juga dengan proklamator Mohammad Hatta. Bahkan jauh selepas yang bersangkutan menghembuskan napas terakhir, idenya signifikan memengaruhi jalan sejarah.
Alkisah, selepas kejatuhan Orde Baru pada 1998, rerupa krisis mengancam keberadaan negara bernama Indonesia. Tak sedikit yang membayangkan akan terjadi sejenis balkanisasi di Nusantara.
Hal itu kian nyata dengan berbagai tuntutan merdeka di daerah-daerah. Papua, Aceh, Timor Timur, Riau, bahkan Kalimantan menimbang ulang perlu tidaknya terus bergabung dalam negara kesatuan. Para tokoh di Jakarta putar otak soal bagaimana menjaga negeri dari terpecah belah. Dalam kegalauan tersebut, buah pikir Mohammad Hatta kembali naik panggung.
Bukan rahasia bahwa sejak mula gagasan Indonesia bercokol di kepalanya, Hatta sudah membayangkan sebuah negara federal. Ia cenderung pada bentuk negara Amerika Serikat yang memberikan otonomi penuh pada kawasan-kawasan dalam negara alih-alih menjalankan sentralisasi penuh seperti yang dipraktikkan rezim Orde Baru.
Kawan seperjuangan Bung Hatta, Sukarno, mengakui bahwa soal bentuk negara itu jadi salah satu titik bedanya dengan Hatta. ”Saya unitaris, Hatta federalis,” kata Bung Karno dalam sebuah kesempatan.
Pada masa-masa selepas reformasi, sejumlah tokoh seperti Romo Mangun, Amien Rais, dan Buya Syafii Maarif, mengenang kembali buah pikir Bung Hatta tersebut untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman disintegrasi.
Kampanye federalisasi tersebut oleh sebagian pihak dianggap terlampau ekstrem. Sejarawan, Anhar Gonggong, dalam tulisan opininya di Republika pada 20 Januari 2000 menganggap bahwa anggapan itu dipicu trauma pembentukan Republik Indonesia Serikat. Menurut Anhar, hasil Konferensi Meja Bundar tersebut terus dinilai sebagai strategi kolonial Belanda memecah belah Indonesia. Meski pada konferensi itu, secara tak langsung Bung Hatta memberikan persetujuan.
Anhar berargumen bahwa trauma itu harus disudahi. Pasalnya, sentralisasi Orde Lama maupun Orde Baru telah terbukti mencerabut kedaulatan rakyat. Seperti sebagian tokoh-tokoh saat itu, Anhar menilai federalisme adalah pilihan yang terbilang masuk akal guna mengembalikan kedaulatan rakyat.
Namun, opini tandingan dilayangkan menantu Bung Hatta, Sri-Edi Swasono, yang juga merupakan guru besar ekonomi di Universitas Indonesia. Dalam tulisan opini yang diterbitkan Republika pada 7 Februari 2000, ia menekankan bahwa Bung Hatta sedianya lebih condong pada gagasan otonomi daerah.
“Bung Hatta memang telah sejak 1926, kemudian juga pada 1932 melalui tulisannya yang terkenal 'Ke Arah Indonesia Merdeka' menggambarkan Indonesia Merdeka berdasarkan federalisme, sehingga beliau dikatakan banyak orang sebagai seorang federalis. Namun, kalau kita perhatikan dengan seksama, inti dari federalisme Bung Hatta adalah otonomi daerah yang luas, yang sesuai dengan keistimewaan dan kekhususan daerah, yang berdasar pada hak demokrasi rakyat dengan menghormati inisiatif rakyat dari bawah,” tulis Sri-Edi saat itu.
Ia mengingatkan bahwa Bung Hatta tak menolak bahkan ikut mendukung saat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan bermusyawarah dan kemudian pada 29 Mei 1945 bermufakat berdasarkan pandangan mayoritas anggota dan menetapkan bentuk negara RI adalah Negara Kesatuan. Syarat dukungan Bung Hatta kala itu, ia menilai kesepakatan saat itu menyertakan otonomi daerah yang luas. Meski pada praktiknya, keistimewaan dan kekhususan masing-masing daerah yang kemudian dicantumkan dalam Pasal 18 UUD 1945 tersebut tak pernah dilaksanakan secara konsekuen.
Sebab itu, Sri-Edi menekankan bahwa yang mendesak dilakukan pada masa selepas reformasi saat itu adalah upaya-upaya desentralisasi. Ia kemudian mengutip dengan panjang tulisan Bung Hatta di harian Pikiran Rakyat terbitan 27 April 1957.
“.... Apabila demokrasi maksudnya melaksanakan pemerintahan dari yang diperintah, maka nyatalah bahwa demokrasi tidak sesuai dengan dasar sentralisme yang membulatkan segala kekuasaan di tangan pemerintah pusat dan DPR. Semakin luas daerah negara, semakin banyak diferensiasi kepentingan hidup, semakin banyak masalah khusus yang mengenai berbagai daerah masing-masing, yang semuanya itu tidak dapat diurus dari pusat pemerintahan negara.
Di sebelah pemerintahan rakyat seluruhnya yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat bersama-sama dengan DPR, mestilah ada pemerintah daerah yang mengurus kepentingan daerahnya masing-masing. Maka timbullah pembagian tugas antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah mengurus segala kepentingan yang mengenai daerah-daerahnya saja. Kepentingan yang meliputi daerah yang lebih luas dan negara seluruhnya diurus oleh pemerintahan lingkungan yang lebih luas dan oleh pemerintahan pusat ....
Pemerintahan demokrasi di dalam negara yang luas daerahnya harus dilaksanakan dengan mengadakan desentralisasi. Sentralisasi akan memperkuat sistem birokrasi, dan akan melemahkan --jika tidak melenyapkan-- kontrol rakyat atas pemerintah dan DPR.''
Pada akhirnya, kaum federalis selepas reformasi tak berhasil memperjuangkan ide mereka yang diklaim bersumber dari prinsip Bung Hatta. Kendati demikian, percikan pemikiran yang diletupkan Bung Hatta berhasil memberikan sumbangsih nyata bagi perumusan solusi guna mencegah perpecahan Indonesia.
Ide desentralisasi yang sangat mirip dengan pemikiran Bung Hatta kemudian tertuang dalam undang-undang yang terus diperbaiki. Langkah desentralisasi selepas reformasi tersebut terbukti berhasil menjaga Indonesia, setidaknya hingga saat ini. Dan demikianlah, Bung Hatta kembali menyelamatkan republik lewat buah pikirannya.
Baca juga tulisan-tulisan berikutnya:
Perbedaan Prinsip Membuat Hatta Memilih Bercerai dengan Sukarno
Serpihan Cerita Cinta Bung Hatta