REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Bagi umat Islam di Indonesia, keinginan menunaikan ibadah haji tidak terbendung, termasuk di masa-masa penjajahan. Menuaikan rukun Islam kelima itu makin besar jumlahnya, terutama sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 dan disusul dengan adanya kapal uap.
Perjalanan yang sebelumnya memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dengan kapal layar, kini dapat ditempuh dalam sebulan lebih. Bahkan, sampai 1970-an mayoritas jamaah menunaikan ibadah haji dengan kapal laut. Kala itu, masih jarang orang pergi haji dengan pesawat terbang.
Untuk membuktikan pergi haji telah dilakukan selama berabad-abad lalu dapat kita lihat dari banyaknya mukimin yang menjadi syekh ketika sistem ini diberlakukan dan baru berakhir pada 1980-an. Di antara keturunan mereka ada yang memegang jabatan penting di Arab Saudi. Pada 1974, ketika saya menunaikan ibadah haji, kebanyakan mereka tidak lagi pandai berbahasa Indonesia.
Berdasarkan laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda pada 1941, pada 1878 (dengan kapal layar) jamaah haji Indonesia sekitar 5.331 orang. Setahun kemudian (1880), menjadi 9.542 jamaah atau naik hampir dua kali lipat.
Contoh di bawah ini menunjukkan bagaimana besarnya minat umat Islam Indonesia menunaikan ibadah haji. Pada 1921 sebanyak 28.795 jamaah Indonesia dari 60.786 jamaah seluruh dunia yang pergi menunaikan ibadah haji. Bahkan, saat resesi ekonomi pada 1928 jamaah haji Indonesia justru meningkat menjadi 28.952 dari 52.412 jamaah seluruh dunia. Masih dalam krisis ekonomi global (1931, 1932, dan 1932) jamaah haji Indonesia justru berjumlah di atas 39 ribu orang.