REPUBLIKA.CO.ID, Mengapa Presiden Sukarno mau memenuhi permintaan MPRS untuk menjelaskan kasus G30S, padahal tak ada hubungannya dengan GBHN? Wartawan Republika, Selamat Ginting pada 20 Februari 2013 menuliskan kronologi jatuhnya Bung Karno dari kursi kepresidenan yang dimulai pada 11 Maret 1966 dengan dikeluarkannya Supersemar.
11 Maret 1966
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan Supersemar, yang isinya, antara lain: “Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi.
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.”
16 Maret 1966
Pangkopkamtib—atas nama Presiden RI—mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI.
27 Maret 1966
Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara, Presiden tidak setuju kabinet itu dirombak. Banyak wajah baru yang dianggap kurang dekat dengan Presiden Sukarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun dilantik.
21 Juni 1966
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966.
22 Juni 1966
Presiden Sukarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum IV MPRS dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Sukarno untuk melengkapi pidato tersebut.
6 Juli 1966
Sidang MPRS ditutup dan mengeluarkan 24 ketetapan, sebuah keputusan, dan satu resolusi. Salah satu di antaranya, Tap MPRS No IX/MPRS/1966 yang menegaskan kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar.
17 Agustus 1966
Presiden Sukarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia terhadap aturan yang ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa.
Sukarno dan Soeharto. (Arsip Nasional RI)
1-3 Oktober 1966
Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI melakukan demonstrasi di depan Istana Merdeka. Mereka menuntut agar Presiden memberi pertanggungjawaban tentang peristiwa G-30 S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun sehingga memakan korban.
22 Oktober 1966
Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota dengan Nomor: Nota 2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada Presiden Sukarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban sesuai keputusan MPRS No 5/MPRS/1966.
30 November 1966
KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR dengan tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya.
9-12 Desember 1966
Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar Presiden Sukarno diadili.
20 Desember 1966
KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden Sukarno dalam G-30 S/PKI.
21 Desember 1966
ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, antara lain, berbunyi butir ke-2, “ABRI akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak mana pun, golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila dan UUD 1945, seperti yang pernah dilakukan PKI Pemberontakan Madiun, Gestapu PKI, DI-TII, Masjumi, PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau melaksanakan Keputusan-Keputusan Sidang Umum IV MPRS.”
31 Desember 1966
Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas situasi pada saat itu, khususnya menyangkut pelaksanaan Keputusan MPRS No5/MPRS/1966 tersebut di atas. Dan, suara serta pendapat dalam masyarakat yang timbul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau.