Ahad 11 Nov 2018 05:46 WIB

Riwayat Depati Amir, Putra Bangka Penentang Belanda

Depati Amir dianugerai gelar pahlawan nasional tahun 2018

Rep: Andrian Saputra/ Red: Karta Raharja Ucu
Depati Amir
Foto: tanggapan layar/ istimewa
Depati Amir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo memberikan anugerah gelar pahlawan nasional kepada enam tokoh dari berbagai daerah. Di antara tokoh yang diberikan anugerah gelar pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 123/TK/ Tahun 2018 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional adalah Depati Amir, seorang pejuang yang menentang penjajahan Belanda dari Bangka Belitung.

Depati Amir merupakan sosok yang begitu gigih menentang keberadaan Belanda utamanya di tanah Bangka. Putra dari Depati Bahrin (wafat pada 1884) itu memimpin pertempuran melawan Belanda pada 1849-1851. Berdasarkan sejumlah literatur, Depati Amir menentang Belanda yang berniat menguasai pertambangan berupa timah di Bangka. Hingga akhirnya perang pun meletus.

Dalam laporan penelitian Prof Dr M Dien Madjid dan timnya berjudul Berebut Tahta Di Pulau Bangka: Ketokohan Depati Amir Dalam Catatan Belanda, LP2M UIN Jakarta menuliskan dalam perjuangannya melawan Belanda Depati Amir juga dibantu teman-temannya yang beretnis Cina. Seperti King Tjoan seorang mantan mandor tanah (di Blinyu), Budjang Singkep, Akei Asan (si Hasan), Oeibin, Bengol, Tata, Dayo, Dasum, Ko So Sioe seorang mantan centeng cina di tambang Singlo Sungailiat, Lannang Amo, The Ling le, Lo Adijien, Iksam Moksin dan Katak seorang etnis cina dari Pangkalpinang.

Di antara orang-orang Cina itu mempunyai tugas khusus dalam jejaring pasukan Depati Amir. Ada yang bertugas dalam hal memasok senjata siap pakai seperti tombak, klewang dan lainnya. Ada juga yang bertugas membantu pemberontakan di wilayah pertambangan.

Kolaborasi Depati Amir dan orang-orang Cina itu pun berhasil membuat Belanda kewalahan. Misalnya ketika Depati Amir dibantu puluhan orang cina dalam membakar tambang Sungailiat sebelum kemudian ia menjadi orang yang paling dicari Belanda atas kejadian itu. Bahkan, Dien Madjid dan timnya menuliskan peran Tjing yang membantu Amir menebarkan racun pada nasi yang akan dihidangkan kepada tentara Belanda.

“Baik Amir maupun Tjing, dipandang Belanda sebagai sepasang pejuang yang berbahaya. Dalam korespondensi lintas pemerintah, nama-nama mereka kerapkali disebutkan sebagai tokoh penting biang keladi kerusuhan di Bangka. Keduanya ibarat representasi dua etnis dominan yang mendiami pulau Bangka, Melayu dan Cina,”

Sementara di kalangan pribumi, nama Demang Sura Menggala menjadi tokoh yang membatu dalam hal penggalangan dana untuk perjuangan Depati Amir dan pasukannya. Belanda tak tinggal diam, berbagai upaya dilakukan untuk menangkap Depati Amir.

Dalam surat Kapten Komandan Infanteri ke I Doorschodt kepada mayor komandan militer Bangka pada 14 Juli 1850 (surat tersebut ada di Arsip Nasionl Republik Indonesia) mengisahkan pada 23 Juli 1850, Belanda memperoleh informasi terait rencana Depati Amir dan pasukannya yang akan berkumpul di sebuah perkampungan bernama Pako. Atas informasi tersebut, Belanda pun membuat rencana penyerangan tiba-tiba.

Sebanyak 50 opsir dan 25 barisan pasukan berangkat untuk melakukan penyerangan terhadap pasukan Depati Amir. Namun setibanya di Pako, Belanda tak menemukan Depati Amir dan pasukannya. Belanda pun lantas membakar kampung tersebut.

Berdasarkan laporan colonial 17 Januari 1851 no.A/19 diberitahukan tentang keberadaan Depati Amir dan kawannya Tjing yang berada dalam hutan Mendu Barat sejak 29 Desember 1850. Disebutkan keadaan keduanya payah karena kekurangan makanan.

Mengetahui hal itu, Belanda pun langsung menutup semua akses menuju hutan. Kemudian diadakanlah sayembara, Belanda berjanji akan memberi hadiah bagi yang dapat menangkap Depati Amir.

Pada akhirnya, ada empat orang yang bersedia menjadi mata-mata yang diutus masuk ke dalam hutan untuk menemui Depati Amir. Sesampainya di tempat persembunyian Depati Amir, orang-orang tersebut membujuk Depati Amir utnuk mengikuti jalan rahasia yang belum diketahui Belanda.

Atas niat baik keempat orang tersebut, Depati Amir bahkan sempat memberikan hadiah berupa cincin emas dan 6 gulden Spanyol. Tetapi, setelah sampai di penghujung jalan, Depati Amir mengetahui dirinya dijebak. Ia kemudian ditangkap, diikat dan serahkan kepada Belanda.

Sementara atas kerja keempat mata-mata tersebut, Belanda pun memberikan hadiah berupa 1.000 gulden. Tak lama berselang, Tjng dan pengikut Depati Amir lainnya menyerahkan diri kepada Belanda.

Dalam surat Residen Batavia kepada Menteri Negara Gubernur Jendral di Batavia pada 10 Maret 1851 menjelaskan Depati Amie beserta ibunya Dakim dan Istrinya Imur serta saudara-saudaranya kemudian dibawa Belanda menuju Surabaya dengan kapal Argo. Setibanya di Belanda Depati Amir dikirim ke Kupang. Depati Amir wafat dalam pengasingan di Kupang pada 28 September 1869.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement