Kamis 24 Jan 2019 16:18 WIB
Lipsus Jenderal Soedirman

Mengalir Seperti Sungai Serayu

Jenderal Soedirman mengibatkan kehidupan pemuda seperti Sungai Serayu.

Liputan Khusus Jenderal Soedirman
Foto: Ilustrasi: Daan Yahya
Liputan Khusus Jenderal Soedirman

Dalam situasi prakemerdekaan itu, seperti apa dakwah yang kerap disampaikan Soedirman? Ini menjadi pertanyaan yang menarik. Apalagi, Soedirman masuk menjadi anggota Muhammadiyah.

Pada periode itu, Muhammadiyah mengembangkan tema pemurnian Islam di masyarakat sehingga tidak terjerumus ke musyrik, konsep tauhid, dan adat istiadat Jawa, perjuangan dan kesadaran berbangsa.

Dalam salah satu sesi dakwahnya kepada Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah, Soedirman menekankan agar para pemuda menjadi manusia yang mulia, harus berjuang menegakkan Islam, dan mengibaratkan hidup pemuda sebagai Sungai Serayu. Maksudnya pemuda harus bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, seperti Sungai Serayu itu.

Soedirman juga didengar kerap mengutip surah al-Baqarah ayat 154: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati) sebenarnya ia itu hidup, hanya kamu yang tidak menyadarinya."

Di Cilacap, Purbalingga, masih ada saksi-saksi hidup yang mengklaim pernah mendengar sang Panglima berdakwah. Salah satu dakwah Soedirman adalah soal orang Jawa yang akan menyelenggarakan hajatan akan mengalami empat "ma", yaitu makuthi, makuthem, makutho, dan makethetheran.

Makuthi adalah pelaku hajatan harus mengumpulkan banyak harta untuk menyelenggarakan hajatannya.  Kemudian, makuthem adalah semakin dekat dengan hari H maka pengeluaran uang harus sangat ketat kecuali untuk keperluan hajatan itu.

Makutho adalah saat hajatan, maka pelaku ibarat raja dan dilayani. Terakhir, makhuthetheran adalah usai hajatan, si pelaku menghitung-hitung biaya yang ia keluarkan. Ternyata, umumnya pelaku hajatan kerap merugi bahkan berutang untuk hajatan.

"Kalau seseorang itu sudah makuthetheran maka dia tadi bisa mengalami pilang: sapi ilang, lembu ilang, kebo ilang, wismo (rumah) ilang, bahkan bisa juga jolang (bojo) ilang alias cerai," kata Soedirman.

Dakwah renyah dan ringan Soedirman ini dimaksudkan untuk memberikan kesadaran ke warga, bahwa untuk sekadar gengsi itu banyak mudharatnya. Itu laku yang kurang sesuai dengan ajaran Islam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement