Dalam surat panjang kepada Rosa Abendanon tertanggal 14 Desember 1902, Kartini mengenang perbincangan dengan Residen Semarang, Piet Sijthoff beberapa hari sebelumnya. Sijthoff digambarkan Kartini sebagai seseorang dengan intelektualitas mumpuni, tapi memiliki moralitas yang meragukan.
Kartini mengisahkan, dalam salah satu kunjungannya, ia dan Sijthoff berdiskusi soal agama. Dalam perbincangan itu, Kartini menyampaikan kekagumannya pada para misionaris Kristen yang meninggalkan rumah mereka untuk melaksanakan tugas suci.
Kartini membayangkan bagaimana rasanya tinggal di antara mereka. "Oh, tentu saja kamu nanti akan menjadi seorang Kristen. Tapi buat kami itu hal bagus. Kami khawatir engkau akan menjadi Muslim fanatik dan mengobarkan jihad lalu mencampakkan kami ke laut," tulis Kartini mengutip jawaban Sijthoff.
Kartini kemudian menerangkan pada Rosa Abendanon dengan nada menenangkan, ia tak bakal mendorong perang suci. "Karena dorongan itulah salah satu sebab kami sedemikian lama memunggungi agama karena kami melihat begitu banyak kurangnya cinta di bawah panji-panji agama," kata Kartini.
Hal ini ia ulangi kembali dalam surat kepada pasangan Van Kol tertanggal 3 Januari 1903. Kali ini, Kartini mengisahkan obrolannya dengan seorang Eropa yang tak ia sebut namanya. Kartini menyampaikan pada lawan bicara soal keinginan menghabiskan waktu di komunitas misionaris di Mojowarno.
"Kamu bakal jadi seorang Kristen nantinya. Buat kami lebih baik jika seseorang menjadi Kristen. Kami memohon perlindungan Tuhan jika seseorang jadi Muslim fanatik. Tentunya kamu akan mengkhotbahkan perang suci," tulis Kartini mengutip orang Eropa tersebut.
Jika yang disampaikan Kartini dalam surat kepada Rosa terkesan seperti candaan, cara Kartini menulis jawaban sang orang Eropa kepada pasangan Van Kol menunjukkan ketakutan sejati. Dalam surat kepada pasangan Van Kol, Kartini juga menyiratkan bahwa ketakutan sang orang Eropa sehubungan dengan sikap-sikap radikal yang ditunjukkan Kartini dengan menentang tradisi lama.
Yang jelas, dua kutipan dalam surat itu menerangkan situasi hubungan Kerajaan Belanda dengan Islam sekitar 70 tahun setelah Perang Diponegoro usai. Berpuluh tahun lewat, kekuatan politik dan perlawanan Islam selalu jadi ketakutan Kolonial Belanda dan kroni-kroni mereka di Nusantara.