REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Sehari sebelum pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia Pertama, De Indische Courant menuliskan susunan acara kongres. 2 Mei, 9 u, v.m., lezing van den heer Jamin over ‘’De toekomstmogelijkheden van de Indonesische talen en letterkunde’’. (Tanggal 2 Mei, pukul 09.00, ceramah Pak Yamin tentang "Kemungkinan Masa Depan Bahasa-Bahasa Indonesia dan Kesustraannya").
Kongres Pemuda Indonesia Pertama yang digagas dan diketuai M Tabrani itu dimulai 30 April 1926 dan berakhir 2 Mei 1926. Tabrani sepertinya sengaja meminta Muh Yamin membahas bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu. Namun, materi yang disampaikan Yamin di Kongres tak menyebut bahasa Indonesia. Ia malah membahas bahasa Melayu dan Jawa sebagai dua bahasa yang memiliki potensi menjadi bahasa persatuan.
Keinginan Tabrani menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan terbukti ketika menolak usulan Yamin menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Tabrani, Sanusi Pane, dan Djamaloedin Adinegoro memeriksa naskah materi yang dibuat Yamin sebelum disampaikan di Kongres.
Di rapat Tim Perumus Kongres, Yamin pun kemudian diberi tugas menyusun resolusi satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Untuk poin pertama dan kedua, Tabrani menyetujuinya, tetapi untuk poin ketiga Tabrani menolaknya. Poin ketiga resolusi yang dibuat Yamin adalah: Kami putra dan putri Indonesia menunjung bahasa persatuan bahasa Melayu.
"Jalan pikiran saya kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa persatuannya harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu," kata Tabrani, seperti ditulis Harimurti Kridalaksana di buku Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia.
Yamin pun menuding Tabrani sebagai tukang melamun, karena tak ada bahasa Indonesia. Tabrani tak mau kalah. Jika bahasa Indonesia belum ada, menurut Tabrani, perlu dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini.
Saat debat ini, Sanusi belum datang. Djamaloedin yang sudah hadir bersetuju dengan Yamin. Tabrani kalah suara, namun ketika Sanusi datang, Tabrani mendapat dukungan.
Tak ada keputusan di kongres pertama ini, selain bersepakat keputusannya dilakukan di Kongres Pemudia Indonesia Kedua. Malam harinya, para peserta Kongres makan bersama di Restoran Insulinde, Pecenongan, setelah Tabrani menyampaikan pidato penutupan kongres.
Di kemudian hari, Tabrani tak mengklaim dialah arsitek penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ia menunjuk Yamin. "Arsiteknya Yamin dengan catatan, bahwa nama bahasa Melayu diganti menjadi bahasa Indonesia selaras dengan pesan yang dititipkan kepadanya oleh Kongres Pemuda Indonesia Pertama," tulis Tabrani di buku biografinya, Anak Nakal Banyak Akal, seperti dikutip Kridalaksana.
Di bukunya, Kridalaksana menulis dengan huruf tebal tentang peneguhan bahwa pencetus bahasa Indonesia adalah Tabrani: Tanggal 2 Mei 1926 jelas merupakan hari lahir bahasa Indonesia; dan yang mengusulkan nama itu ialah M Tabrani. Kongres Pemuda Indonesia Pertama itu membahas hak bernegara, berbangsa, berbahasa. Dibahas pula posisi wanita dan agama. Agama dibahas, catat Nieuwe Rotterdamsche Courant 10 April 1926, "agar agama tidak menghalangi Anda dari nasionalisme."
Tabrani seperti dicatat Nieuwe Rotterdamsche Courant, menegaskan perlunya mempromosikan perasaan persatuan. Karena itulah diadakan Kongres Pemuda. Tujuan kongres ini untuk meletakkan dasar persatuan Indonesia. Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.
Baca Juga: Taktik Tabrani Pakai Bahasa Indonesia di Dewan Kota Batavia
Kesatuan bahasa muncul dengan sendirinya begitu negara ada. Bahasa mana yang akan menjadi bahasa Indonesia dianggap tidak penting. Bisa dari bahasa Melayu, Jawa, bahkan Belanda. Para intelektual memiliki tugas melahirkan bahasa Indonesia itu di Kongres Pemuda Indonesia.
Linguis Amerika Serikat Mario Pei pada 1957 mencatat gejala penolakan negeri jajahan terhadap bahasa penjajahnya. Yang dilakukan Tabrani sejalan dengan yang dilakukan negeri-negeri jajahan lain.
Rupanya, Tabrani tak berhenti di Kongres Pemuda. Di Kongres Bahasa Indonesia di Solo pada Juni 1938, Tabrani melangkah cukup jauh untuk pengembangan bahasa Indonesia. Melalui artikel Taal en Politiek (Bahasa dan Politik), De Indische Courant edisi 6 Juli 1938 menyebut Tabrani bahkan mengusulkan agar penguasaan bahasa Indonesia dijadikan syarat pengangkatan pejabat dan pegawai.
Ia juga mengusulkan agar surat-menyurat lembaga pemerintah menggunakan bahasa Indonesia. Ia juga mengusulkan agar bahasa Indonesia digunakan di lembaga perwakilan dari gemeenteraad hingga volksraad.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah membentuk lembaga bahasa Indonesia yang bertugas menjalankan usulan-usulan di atas. De Indische Courant pun memberikan catatan khusus kepadanya: "Pembicara kedua, yang kata-katanya di kongres bahasa Indonesia di Solo layak mendapat perhatian khusus, adalah politisi pribumi terkenal Muh Tabrani."
Bahasa Persatuan Indonesia
Trio bintang di kongres bahasa itu adalah Muh Yamin, Tabrani, dan Sanusi Pane. Yamin bicara soal bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan kebudayaan dan Sanusi bicara tentang lembaga bahasa yang ia beri nama Institut Bahasa Indonesia.
"Pidato dari trio ini memiliki cap politik yang kuat, lebih kuat: mereka harus, khususnya yang dari penyair, diberi label sebagai anti-Belanda," tulis De Indische Courant. Meski belum tahu pasti ke mana arah perkembangan "gerakan bahasa" ini, tetapi De Indische Courant berani mengatakan pidato dari trio bintang kongres bahasa ini akan memiliki pengaruh luas.