Saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda, di Batavia terdapat Gerbang Amsterdam (Amsterdam Poort) atau Kasteelpoort. Pintu gerbang yang berada di Kanaal Weg atau Jalan Tongkol, Pasar Ikan, Jakarta Utara itu dibangun untuk melengkapi Kasteel van Batavia (Kastil Batavia) yang dibangun pada 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen. Pada 1627 kastil diperbesar.
Hingga 1707, Kastil Batavia menjadi pusat pemerintahan serta bisnis. Gerbang Amsterdam itu berada di sebelah selatan kastil, saat ini berada di sebelah jembatan kereta api ujung dari Jalan Pintu Besar dan Jalan Tongkol. Namun, karena keadaan semakin tidak sehat, pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Pasar Ikan ke Weltevreden (Gambir, Pasar Baru, dan Senen) dan berpusat di Stadhuis atau Museum Sejarah Jakarta.
Gerbang Amsterdam pun sempat direnovasi dengan gaya Rococo oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Wilem Baron van Imhoff (1743-1750). Jadi semua orang yang masuk Batavia dari Pelabuhan Sunda Kelapa saat itu harus melewati Gerbang Amsterdam. Jarak gerbang ke Stadhuis sekitar 400-500 meter.
Kondisi Jalan Tongkol saat ini. Di lokasi ini dulunya Gerbang Amsterdam berdiri. (Foto: Google Map)
Penghancuran Kastil Batavia dilakukan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Namun, Gerbang Amsterdam menjadi salah satu bagian dari kastil yang selamat. Sekitar 1830 sampai 1840, Gerbang Amsterdam dipugar dengan menambahkan Patung Dewa Mars (dewa perang Romawi) dan Dewa Minerva (dewa kesenian Yunani) di kedua sisinya.
Dalam buku Batavia in Nineteenth Century Photographs, Scott Merrillees menuliskan, penghancuran gerbang pelan-pelan terjadi sekitar 1869 saat trem beroperasi di Batavia. Karena Gerbang Amsterdam tidak bisa dilalui trem, sisi-sisi gerbang pun dihancurkan.
Bagian sisi kanan dan kiri Gerbang Amsterdam dhancurkan karena tidak bisa dilewati trem.
Rute trem saat itu dari Kanaal Weg (Jalan Tongkol) hingga ke Prinsenstraat (Jalan Cengkeh), Nieuwpoort Straat (Jalan Pintu Besar Utara dan Jalan Pintu Besar Selatan) hingga ke Molenvliet (Jalan Gajah Mada). Gerbang Amsterdam akhirnya benar-benar diratakan dengan tanah pada 1950 karena alasan mengganggu lalu lintas, seiring ramainya kendaraan di Jakarta.
Saat masih berdiri, Gerbang Batavia menjadi saksi bisu pelaksanaan hukuman mati, baik berupa digantung atau dipenggal. Hukuman mati pada abad ke-18 yang hampir terjadi saban bulan itu pun menjadi tontonan masyarakat, bahkan dianggap sebagai hiburan. Mulai dari warga orang Belanda sampai pribumi.
Tak sedikit pedagang menggelar dagangannya saat eksekusi dilakukan. Pesakitan yang dieksekusi mulai dari penjahat sampai budak belian yang melakukan kejahatan atas laporan majikannya. Namun, kabarnya algojo hukuman pancung atau gantung bukan orang Belanda, melainkan orang pribumi.
Pintu Gerbang Amsterdam
Coba tengok gambar Gerbang Amsterdam yang dibuat Johannes Rach (1720- 1783), seorang mayor kavaleri VOC pada 1762. Di bagian kiri, terlihat tempat medan penggantungan yang dalam bahasa Belanda disebut Gilgenveld yang dijaga ketat banyak tentara dan pasukan berkuda. Berdasarkan pelacakan, tempat ini terletak di sebelah jembatan kereta api ujung dari Jalan Pintu Besar dan Jalan Tongkol.
Baca Juga: Kiprah Keturunan Arab di Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
Di gambar itu terlihat juga wanita Belanda (mevrouw) yang mengenakan pakaian abad ke-18 dan dipayungi budak wanitanya, ikut menyaksikan leher pesakitan terjerat tali tambang, atau kepala yang terpisah dari badan karena tebasan golok. Di samping mevrouw ada pria Belanda (meneer) memakai peci dan rambut wig.
Di gambar sebelah kanan itu ada beberapa budak yang dengan kaki dirantai, sedang menarik sebuah tong. Mereka diawasi dua tentara VOC dengan pedang terhunus.
TENTANG PENULIS
KARTA RAHARJA UCU, wartawan Republika