Budayawan Betawi Ridwan Saidi menetang keras penetapan 22 Juni 1527 sebagai hari lahir Jakarta. Sebab, tanggal itu menurut dia adalah tanggal dibantainya orang-orag Betawi di Pelabuhan Sunda Kalapa oleh pasukan yang dipimpin Fatahillah.
Selama ini, Fatahillah disebut sebagai pemimpin pasukan yang membebaskan Sunda Kelapa dari cengkeraman Portugis pada 1527 Masehi. “Fatahillah (masuk ke Jakarta) pada 1540 (masehi), bukan 1522. Fatahillah itu adalah pasukan Yahudi. Bersama Raden Patih dan Pati Unus, menyerang kerajaan Islam di Pasuruan pada 1539,” kata Ridwan saat berbincang dengan Republika, Jumat (21/6).
Dalam bukunya yang berjudul Memori Jakarta, Ridwan menuliskan penyerangan Fatahillah ke pelabuhan Sunda Kelapa yang dijadikan HUT Jakarta, tidak beralasan. Apalagi terdapat perbedaan tahun, bulan, dan tanggal antara Profesor Hussein Djajadiningrat, Profesor Sukmono, Profesor Purbacaraka, dan Profesor Sukanto tentang 22 Juni.
Menurut dia, penetapan HUT sebuah kota tidak dikaitkan dengan datangnya serangan lawan, tetapi dengan kebangkitan peradaban atau tradisi rakyat yang hidup. Apalagi, jika serangan tersebut justru menghancurkan kota. Ia berkata, tidak akan pernah terpikirkan di kalangan orang Jepang, menjadikan tanggal jatuhnya bom atom sebagai HUT Kota Hiroshima.
Motif penyerangan Fatahillah ke Jakarta, kata Ridwan, tidak dapat dijadikan dasar untuk menjadikan tanggal itu sebagai HUT Jakarta. Disebut-sebut, motif penyerangan adalah islamisasi dan mengusir tentara Portugis dari Sunda Kelapa. Padahal, menurut dia, penduduk Sunda Kelapa telah memeluk Islam sejak abad XIII atau tiga abad sebelum Fatahillah datang.
"Kehadiran Portugis di Sunda Kelapa tidak dapat dibuktikan. Apalagi, serangan itu terjadi pada 1540, bukan 1527 di Pasar Pisang, Kampung Kebon Pisang, Jakarta-Kota," ucap dia.
Pemilik pelabukan Kalapa adalah Kerajaan Pajajaran, sementara pengelolanya adalah orang-orang Kalapa (Betawi). "Kalau Fatahillah benar pahlawan, kenapa orang Betawi menjuluki Fatahillah sebagai Tagaril (Sang Angkara Murka) dan orang Sunda menyebutnya Palatehan (Sang Pemercik Api)," ujar dia.
Ia juga berkata keberadaan dua objek di Pacenongan dan Tambora sangat sulit dijadikan tanggal berdirinya Jakarta, karena tidak diketahui dengan pasti tahun, bulan, dan tanggalnya. Secara teoritis dapat ditentukan, obelisk berasal dari abad awal Masehi, tetapi tanggal pastinya sulit ditentukan.
"Kapala sebagai kota, pertama kali dilaporkan Bujangga Manik Ameng Layaran dalam Lalampahan yang ditulis pada abad XIV (rujukan: Noordhujin). Ada kesaksian, ini merupakan kota yang berada dalam mandala Pajajaran."
Ketujuh, penentuan hari dan bulan biasanya merujuk peristiwa tradisional yang masih dirayakan, yakni nyadran. “Silakan baca laporan Mendes Pinto yang merupakan saksi lapangan. Fatahillah itu adalah buronan yang masuk ke Pasar Ikan, lalu masuk ke Pasar Pisang di Jalan Cikunir,” ujar dia.
Saat itu, menurut Ridwan, Fatahillah malah membakar Pasar Pisang. Dia berani bersaksi Fatahillah tidak pernah menguasai Jakarta. “Dia cuma di Pasar Pisang. Itulah, dia bantai orang Betawi yang lagi berdagang di pasar, lantas ini orang ngabur,” kata dia.
Ridwan juga membantah cerita yang menyebut Fatahillah menciptakan nama Jayakarta. Jakarta tidak pernah bernama Jayakarta. Sejarah nama Jakarta adalah Majakatera yang artinya land of power. Nama Majakatera masih digunakan hingga abad ke-15. Kemudian, Majakatera berganti menjadi Jaketrah hingga disebut Jakarta.
Pada 1623, VOC mengganti nama itu menjadi Batavia. Namun, nama tersebut menuai protes dari orang Betawi dan Jepang. Akhirnya, Batavia hanya nama resmi, tetapi orang-orang menyebutnya sebagai Jakarta.
Saat Jepang masuk pada 1942, pengucapan Jakarta menjadi Jakaruta. Kemudian, Presiden Soekarno mengembalikan nama Jakarta saat Proklamasi kemerdekaan 1945. Nama Jayakarta adalah nama salah satu desa di Karawang.
“Jangan salah paham. Kota ini tak pernah bernama Jayakarta. Kedua, Fatahillah itu seorang Yahudi,” ujar Ridwan.
Namun pendapat Ridwan Saidi bertentangan dengan sejumlah catatan sejarah. Sejarawan Alwi Shahab mengatakan ketika mengalahkan armada Portugis di Sunda Kelapa pada 1527, Fatahillah, panglima dan ulama Kerajaan Islam Demak langsung mengganti nama bandar di Teluk Jakarta itu menjadi Jayakarta. Nama ini diambil dari surat Al-Fath ayat pertama yang berbunyi: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." Kemenangan yang nyata oleh Fatahillah diartikan sebagai Jayakarta.
Fatahillah dan pasukan-pasukannya itu, saat mengenyahkan Portugis dari bandar Sunda Kelapa menyadari peperangan di Teluk Jakarta ini merupakan perang suci demi syiar Islam. Karena kedatangan Portugis di Indonesia tak dapat dipisahkan dari misi Kristen. "Apalagi, sebelumnya negara di Eropa Barat ini telah menguasai Malaka, yang merupakan jalur pelayaran penting ke Indonesia," kata Alwi Shahab.
Ia menjelaskan, Mr Hamid Algadri dalam bukunya 'Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia', tegas-tegas menyebutkan kedatangan Portugis di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kelanjutan Perang Salib. Karena menurut Hamid Algadri, dengan menguasai Indonesia, Portugis ingin memotong rute perdagangan yang sudah terjalin berabad-abad antara negara-negara Islam di Timur Tengah dengan Kepulauan Indonesia.
Portugis berpendapat akibat menguasai rute perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Indonesia inilah menjadi sumber kekuatan ekonomi dan politik negara-negara Islam. Perlu dimaklumi, abad ke-15 dan 16 Portugis dan Spanyol masih terlibat dalam Perang Salib di Semenanjung Iberia (Spanyol), dengan Portugis menjadi pemimpin agama Kristen melawan Islam.
Perdagangan rempah-rempah waktu itu dari Kepulauan Indonesia melalui Selat Malaka, sebagian besar diangkut para pedagang Arab ke Laut Merah. Baru kemudian diperdagangkan ke Eropa.
"Jadi, ketika Portugis menaklukkan Selat Malaka dan berupaya menjajah Indonesia, menurut Hamid Algadri, bukan hanya punya motif dagang, tapi juga agama."
Hampir satu abad setelah Portugis diusir dari Sunda Kelapa, Gubernur Jenderal JP Coen (1619), saat menaklukkan Pangeran Jayakarta sekaligus membakar keraton dan sebuah masjid milik pangeran dan anak buahnya. "Tapi, pada awal-awal penjajahan itu Belanda selalu mendapat perlawanan baik dari Pangeran Jayakarta dan anak buahnya yang bergerilya di hutan-hutan sekitar daerah Jatinegara."