Senin 15 Jul 2019 01:04 WIB

Gedoran Depok; Pembantaian Belanda Depok di Perang Revolusi

Saat itu Kaoem Depok dituding sebagai pengkhianat Indonesia dan kaki tangan Belanda.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Gemeente Bestuur Depok, kantor pemerintahan Depok yang kini menjadi Rumah Sakit Harapan di Jl. Pemuda, Depok. Tugu itu dibangun pada 28 Juni 1814, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kematian Cornelis Chastelein, pejabat VOC yang membeli sebidang tanah di Depok. Namun tugu itu dihancurkan karena dianggap sebagai simbol kolonialisme.
Foto: Dok. Keluarga Presiden Depok.
Gemeente Bestuur Depok, kantor pemerintahan Depok yang kini menjadi Rumah Sakit Harapan di Jl. Pemuda, Depok. Tugu itu dibangun pada 28 Juni 1814, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kematian Cornelis Chastelein, pejabat VOC yang membeli sebidang tanah di Depok. Namun tugu itu dihancurkan karena dianggap sebagai simbol kolonialisme.

REPUBLIKA.CO.ID, Sebegitu kuatnya stigma Kaoem Depok sebagai ‘Belanda Depok’, ternyata telah merugikan generasi mereka terutama saat perang revolusi kemerdekaan. Mereka dituduh sebagai kaki tangan Belanda oleh para pejuang revolusi kemerdekaan.

Beberapa peristiwa pahit dan kelam pun harus mereka alami mulai dari pengusiran, penyiksaan hingga pembunuhan. Salah satu peristiwa kelam tersebut adalah peristiwa Gedoran Depok, di mana para pejuang melakukan penyisiran terhadap Kaoem Depok, karena dianggap ikut membela Belanda.

Boy Loen, salah satu keturunan marga Loen generasi ke-8, mengatakan kalau bicara Gedoran, sebenarnya orang-orang tua Kaoem Depok mau melupakan peristiwa tersebut. Sebab Gedoran bagi orang-orang tua Kaoem Depok, terutama mereka yang hidup pada masa pra kemerdekaan hingga perang pasca kemerdekaan, peristiwa itu sangat tragis.

Boy menceritakan sebagian cerita yang dialami kedua orang tuanya atas peristiwa Gedoran Depok tersebut. Saat itu ketika Perang Revolusi (1945-1949), orang Depok menyebut masa itu Zaman Bersiap. Karena ketika terjadi penyerangan ke Kaoem Depok, warga yang bekerja dengan Kaoem Depok memberi komando bersiap.

“Nama Gedoran, karena pintu-pintu rumah Kaoem Depok saat itu digedor keras-keras, rumah mereka kemudian dirampok dan mereka diusir hingga dibunuh, dipenggal kepalanya dan dimasukin ke sumur. Oleh karena itu kalau tanya ke orang tua kami mereka tidak mau cerita, karena itu tragis dan menyakitkan,” jelasnya.

photo
Boy Loen, salah satu keturunan marga Loen generasi ke-8, berfoto di depan foto Presiden Depok kedua, Frederick Samuel Laurens. (Amri Amrullah/Republika)

Ketika ada teriakan ‘bersiap-bersiap’, Kaoem Depok saat itu pergi meninggalkan rumah masing-masing dan sembunyi. Apabila tertangkap akan dianiaya hingga dibunuh.

Kaoem Depok yang berada di Jalan Gereja, kini Jalan Pemuda, mereka bersembunyi di kebun Belimbing. “Orang tua saya bersembunyi di dekat lembah, kini di belakang Polres Depok, di sana ada balong atau sumber air. Dan jam jelang maghrib mereka kembali ke rumah,” ungkap Boy.

Di rumah, lanjut dia, sudah berantakan dijarah dan diobrak-abrik mereka yang menamakan pendukung pejuang revolusi. Saat kembali ke rumah, Kaoem Depok juga memasak makanan yang akan menjadi bekal mereka ketika mereka bersembunyi kembali untuk keesokan harinya. Itu berlangsung hingga berbulan-bulan.

“Kalau yang tertangkap mereka ditawan oleh pejuang revolusi, sempat akan dibunuh atau masuk interniran (tempat pengasingan),” kata Boy.

Kaoem Depok yang akhirnya masuk dalam tahanan interniran, karena dianggap berkhianat terhadap perjuangan revolusi. Mereka dianggap menolong pasukan Belanda dan sekutu yang ingin kembali menguasai Indonesia.

photo
Tugu peringatan Cornelis Chastelein yang berada di gedung Gemeente Depok, kini RS Harapan Depok. (Amri Amrullah/Republika)

Boy menyampaikan salah satu kisah yang diceritakan orangtuanya, dalam satu kesempatan beberapa ‘Belanda Depok’ yang sempat tertangkap kelompok pejuang revolusi dan dikumpulkan di Gedung Het Gemeentebestuur yang kini menjadi RS Harapan Depok. Namun ada wartawan asing yang melihat itu memanggil pasukan sekutu. “Pasukan sekutu datang, mereka lari, akhirnya mereka dibebaskan,” ujarnya.

Ketika peristiwa Gedoran tersebut, Kaoem Depok menyelamatkan diri. Mereka tidak peduli barang dan sertifikat tanah mereka, sehingga banyak aset milik Kaoem Depok dirampas dan diambil alih tanpa sepengetahuan pemilik aslinya. Termasuk, kata Boy, sertifikat dan tanah yang dimiliki keluarga besar Loen.

Karena itu ketika tanah-tanah Kaoem Depok pada zaman revolusi diserobot begitu saja, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Termasuk ketika pemerintah Indonesia akhirnya melikuidasi kepemilikan tanah partikelir.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement