REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Pada 1930 Tabrani gagal masuk Gemeenteraad van Batavia. Ia kalah suara dengan wakil dari Pasundan. Ia justru menjadi anggota Provincialraad van Oost Java, wakil dari PRI. Di kemudian hari ia bisa menjadi anggota Gemeenteraad van Batavia wakil dari Parindra.
Saat di Regentschapsraad van Pamekasan dan Provincialraad van Oost Java, ia banyak memperjuangkan bisnis pribumi, mulai dari urusan harga bambu hingga ekspor sapi dan garam. Ia menjadi anggota Provincialraad van Oost Java sejak 1 Januari 1933 dan pada 1934 menjadi kandidat anggota Volskraad.
Rupanya, usahanya tak disukai penguasa Sumenep. Ada dua surat pembaca di Indische Courant edisi 28 Juni 1934 mempersoalkan urusannya dengan garam dan sapi. Surat pertama datang dari Asisten Residen Sumenep A Pieters dan surat kedua datang dari Ketua Perkumpulan Kaum Pergaraman Madura (PKPM) Sosro Danoe Koesoemo. Mereka keberatan dengan sepak terjang Tabrani yang mengatasnamakan petani garam dan petani sapi, karena belum pernah ada pertemuan para petani yang menunjuk dia sebagai delegasi untuk mengurus masalah garam dan sapi.
Belum ada berita soal perjuangan Tabrani untuk penggunaan bahasa Indonesia di Provincialraad. Ketika menjadi anggota Gemeenteraad van Batavia, Tabrani bersama Husni Thamrin lantang memperjuangkan diperbolehkannya penggunaan bahasa Indonesia di Gemeenteraad van Batavia sejak awal 1939. Dari Batavia menjalar ke gemeenteraad di kota-kota lain.
Perjuangan penggunaan bahasa Indonesia bermula dari Volksraad yang mendukung Kongres Bahasa Indonesia Pertama di Solo. "Sekarang saatnya bagi kita untuk mempertimbangkan penggunaan bahasa Indonesia untuk tahun ini karena ternyata ketika kita menggunakan bahasa Indonesia tahun lalu di Volksraad, pemerintah tidak keberatan, meskipun dia menyesalinya,’’ ujar Thamrin di sidang umum Gemeenteraad van Batavia, seperti dikutip Het Volksdagblad edisi 21 September 1939, yang mendapat salinan pidato Thamrin dari Indonesia Vereeniging.
Thamrin menyebut adanya penentangan penggunaan bahasa Indonesia di gemeenteraad di daerah-daerah, seperti di Medan dan Semarang. Di Cirebon, meski ada upaya menghalangi penggunaan bahasa Indonesia di gemeenteraad, tetapi wali kota Cirebon seperti dilaporkan Bataviaasch Nieuwsblad edisi 20 Desember 1939, menyarankan diberikannya izin penggunaan bahasa Indonesia, khusus untuk anggota yang tidak menguasai bahasa Belanda.
"Sebelum ada pengakuan umum dan penuh atas hak untuk menggunakan bahasa Indonesia di semua dewan, kami akan berbicara bahasa Indonesia di Volksraad dan mendorong di mana-mana untuk melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, perubahan posisi kami sehubungan dengan penggunaan bahasa Indonesia tidak ada di tangan kami. Apresiasi bahasa Indonesia akan menghasilkan apresiasi bahasa Belanda," tutur Thamrin.
Usaha Thamrin dan Tabrani di Gemeenteraad van Batavia di awal 1939 gagal karena ada penentangan, tetapi di akhir tahun, Tabrani mengulang lagi tuntutannya dan dianggap berhasil. Jauh sebelumnya, Tabrani telah gigih memperjuangkan perlunya menerbitkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, ketika tokoh-tokoh lain menyebut yang cocok sebagai bahasa persatuan adalah bahasa Melayu.
Muh Yamin misalnya. Di Kongres Pemuda Indonesia Pertama ia membahas "Kemungkinan Masa Depan Bahasa-bahasa Indonesia dan Kesusastraannya" (De toekomstmogelijkheden van de Indonesische talen en letterkunde).
Baca Juga: Masa Awal Bahasa Indonesia; Tanda Pengenal Keindonesiaan
Pengertian "bahasa-bahasa Indonesia" (Indonesische talen) mengacu pada bahasa-bahasa yang ada di Indonesia, yang berbeda dengan pengertian "bahasa Indonesia (Indonesische taal). Di Kongres itu, yang ia bahas adalah bahasa Jawa dan bahasa Melayu yang berpotensi menjadi bahasa persatuan.
Ketika rumusan ikrar pemuda dari Yamin di Kongres Pemuda Indonesia Pertama menyebut "menjunjung tinggi bahasa persatuan yaitu bahasa Melayu", Tabrani menentangnya. Ia menginginkan agar bahasa persatuan dalah bahasa Indonesia, yang kemudian diakomodasi Yamin di ikrar pemuda di Kongres Pemuda Indonesia Kedua.
Saat didebat Tabrani itu, Yamin menganggap Tabrani sebagai tukang melamun. Namun, lamunan Tabrani tak sia-sia. Yamin membuat ikrar pemuda yang dibacakan di Kongres Pemuda Kedua mengikuti usulan Tabrani --yang mulai awal 1926 sudah menulis perlunya menerbitkan bahasa Indonesia.