REPUBLIKA.CO.ID, “Sukarno sangat anti dengan musik ngak-ngik-ngok dari Amerika,” kata sastrawan Pramoedya ketika ditanya situasi budaya pada masa Soekarno dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian. Istilah musik ‘ngak-ngik-ngok’ merujuk pada musik rock and roll dari barat seperti Elvis Presley dan The Beatles yang populer ketika itu. Musik ‘ngak-ngik-ngok’ dianggap mewakili semangat Neo Kolonialisme Imprealisme (Nekolim).
Lagu-lagu asing –terutama musik rock and roll berbahasa Inggris- memang banyak digandrungi rakyat Indonesia medio 1950-an. Musik-musik yang kemudian dinamakan musik ‘ngak-ngik-ngok’ oleh Sukarno itu banyak disiarkan radio-radio luar negeri seperti ABC Australia, Hilversum Belanda, dan Voice Of Amerika (VOA). Termasuk musik latar film-film Barat yang kemudian diimpor ke Indonesia.
Lagu-lagu Bill Haley hingga Elvis Presley mewabah dikalangan anak muda. Keranjingan lagu-lagu barat membuat banyak anak muda lantas membentuk grup-grup band, kala itu populer disebut orkes.
Lain dengan Sukarno. Denny Sakrie dalam 100 tahun musik Indonesia menuliskan Bapak Proklamator RI itu justru mengkhawatirkan budaya bangsa termasuk lagu-lagu daerah terlupakan, digantikan dengan budaya Barat. Maka pada perayaan Hari Proklamasi 17 Agustus 1959, dikeluarkanlah sebuah manifesto yang diberi nama Manipol USDEK/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Atau dalam pidatonya itu Bung Karno memberi judul Tahun Vive Pericoloso (Tavip). Ia menginstruksikan rakyat untuk melaksanakan Tri Sakti Tavip. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Dalam masalah yang terakhir ini, Bung Karno menentang keras apa yang disebutnya ‘musik ngak-ngik-ngok’, literature picisan, dan dansa-dansa gila-gilaan, Menurut Bung Karno kaum imperialis ingin merusak moral bangsa Indonesia melalui penetrasi kebudayaan. (Tulisan Abah Alwi yang dimuat Republika,co.id pada 2016)
Sejak Oktober 1959 siaran Radio Republik Indonesia (RRI) ditegaskan untuk tidak lagi memutar atau memperdengarkan lagu-lagu rock and roll, cha-caha, tango, hingga mambo yang dinamakan musik ‘ngak-ngek-ngok’. Sukarno malah memberi contoh dengan menggagas lenso, tarian dari budaya Maluku, sebagai pengganti dansa yang kerap berlangsung di ballroom atau kelab.
“Bersuka Ria” adalah lagu dengan irama lenso yang akhirnya berhasil dibuat sejumlah seniman seperti Jack Lesmana, Idris Sardi, dan Bing Selamet di mana Soekarno pun terlibat dalam penggarapan lagu itu. Lagu yang dirilis 14 April 1965 itu dinyanyikan Rita Zaharah, Nita Lesmana, Bing Slamet dan Titiek Puspa dalam album kompilasi bertajuk ‘Mari Bersuka Ria’. Selain dari itu ada pula lagu-lagu lainnya seperti Burung Kakak tua, gelang piaku gelang hingga Bengawan Solo karya Gesang.
Untuk mengangkat dan membesarkan musik Tanah Air, dalam lawatannya ke Amerika antara 1946-1965, Sukarno membawa serta beberapa pemusik dan penyanyi yang tergabung dalam The Lensoist. Merek adalah Bing Slamet, Titiek Puspa, Nien Lesmana, Munif A Bahasuan, pemain biola Idris Sardi, pemain gitar Jack Lesmana, pemain piano Bubi Chen, dan beberapa orang lainnya.
Menurut Pramoedya, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pada waktu itu juga berusaha untuk mengangkat kebudayaan rakyat ke atas seperti Ketoprak, Lenong dan Ludruk. Pertunjukan-pertunjukannya disiarkan radio dan televisi.
Lain Soekarno lain pula Joko Widodo. Bisa dibilang Jokowi satu-satunya Presiden dalam sejarah Indoensia yang menyukai lagu-lagu bernada keras dari luar. Ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2013, Jokowi begitu antusias menyaksikan konser bend rock Metallica di Gelora Bung Karno.
Bahkan teranyar, Jokowi pun menyampaikan keinginannya untuk menyaksikan konser band rock legendaris asal Amerika Serikat, Gun N’ Roses yang akan tampil dalam konser reuninya di GBK pada Kamis (8/11). “Jadi kalau memang ada kosong dikit, mau lah,” kata Jokowi di Istana Merdeka Jakarta.
Jokowi memang pecinta lagu-lagu bernada keras, bahkan dalam film Jokowi yang disutradari Azhar Lubis mengisahkan Jokowi telah menyukai musik-musik Barat sejak masa remaja. Jokowi dalam film itu digambarkan senang membeli kaset-kaset musik di pedagang kaset jalanan.