Selasa 23 Apr 2019 15:32 WIB

Buku-Buku yang Menginspirasi Kartini

Kartini banyak membaca buku, tapi menolak buku yang memunculkan kekecewaan

 RA Kartini
Foto: Wikipedia
RA Kartini

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar

Kartini membaca banyak buku, tetapi ia menolak buku yang memunculkan kekecewaan. Buku Java karya PJ Veth termasuk yang ia tolak, karena buku ini hanya membahas sisi negatif orang Jawa.

Buku yg terdiri dari tiga jilid yang terbita sejak 1875 hingga 1882 itu dihargai di konggres geografi di Paris 1873, dihargai di kongres grografi di Venesia 1881. Pada 1882 dihargai oleh Yayasan Thorbecke.

Tentang nilai-nilai Jawa, ia mendapat tambahan wawasan dari buku Wedhatama, Centhini, dan buku hikayat-hikayat wayang. Di luar itu, buku Multatuli berjudul Minnebrieven yang terbit setelah Max Havelar memunculkan kesadaran kuatnya untuk membela pribumi. Ia bahkan membacanya dua kali.

Pramoedya Ananta Toer mencatat kalimat yang sangat berpengaruh dari buku itu. Yaitu "tugas manusia adalah memanusiakan manusia" dan "bertambah orang Jawa bekerja, bertambah banyak laba didapat oleh mereka (pembesar-pembesar dan sebagainya), oleh pemerintah, oleh nasion".

Sejarah Revolusi Prancis juga ia baca, selain seharah Yunani dan Romawi. Bahkan ia menjalakan prinsip bebebasan, persamaan, dan persaudaraan dalam kehidupan sehari-hari dia. Tentang ini, ia pernah bercerita lewat suratnya tertanggal 18 Agustus 1899.

Ia juga membaca kisah perkampungan Yahudi di London. Pramoedya memastikan Kartini membaca kisah karya Israel Zangwill ini karena Kartini menyebutnya lebih dari dua kali di kesempatan yang berbeda.

Kartini juga membaca karya-karya Couperus yang pernah sekilah di Batavia. "Bahasa Couperius sangat indah tiada duanya," puji Kartini di surat 12 Januari 1900.

Kartini tidak menyebut judul buku karya Couperius, tetapi Pramiedya menduga yang dibaca adalah Eline Vere. Buku ini berkisah tentang masyarakat yang hidup dengan kemewahan tetapi tumbuh menjadi masyarakat yang lemah.

"Pada karya ini bahasa dan isinya benar-benar bicara pada kami," tulis Kartini, 4 Oktober 1902.

Buku Moderne Maagden karya Marcel Prevost merupakan buku Prancis yang dibaca Kartini dalam bahasa Belanda. Ia mendapatkan kecocokan pemikiran di buku ini. "Karena penemuan-penemuan kembali banyak hal yang memang telah aku pikirkan, rasakan, dan alami," tulis Kartini 23 Agustus 1900.

Tak kalah pentung adalah buku De Wapens Neergelegd karya Bertha von Suttner. Suttner mendapat Nobel pada 1905 setelah Kartini meninggal. Buku ini, kata Pranoedya, bercerita tentang perjuangan memenangkan perdamaian sosial.

Buku-buku sosialisme memang disukai Kartini. Buku roman De Vrouw en Sosialisme karya Agust Bebel juga menjadi santapannya. Baik De Wapens maupun De Vrouw, menurut Pramoedya, merupakan buku yang progresif di masa Kartini hidup.

Kartini juga membaca karya-karya Augusta de Wit yang lahir di Sibolga. De Wit banyak menulis tentang Jawa di majalah De Gids. Karya sastra dari De Wit juga dibaca Kartini.

Karya sastra dari Vosmaer juga dibaca Kartini. "Dengan terharu kami baca Inwijfding atau Pembukaannya yang indah itu," tulis Kartini 26 Mei 1902 tentang nomor wahid jarya Vosmaer.

Ketika ditinggalkan Kardinah yang ikut suaminya setelah menikah, Kartini menghibur diri dengan membaca karya de Genestet, penyair Belanda. Pernah Kartini mengunci di kamar untuk menyekesaikan bacaannya.

"Percayakah kau, kalau Hilda van Suylenburg itu aku tamatkan tanpa berhenti? Aku kurung diriku di dalam kamar terkunci, lupa segala-galanya, tak dapat aku melepaskan dia dari tangan, dia begitu menyeret hatiku," tulis Kartini 12 Januari 1900.

Roman karya Nyonya C Goekoop de Jong itu, menurut Pramoedya, menjadi buku tentang emansipasi wanita yang pertama kali ia baca. Saking senangnya pada buku ini, ia sampai tiga kali membacanya. Ia mengagumi dampak buku itu di Eropa.

"Mau aku mengorbankan segala-galanya kalau saja diperoleh hidup di masa Hilda van Suylenburg," tulis Kartini 25 Mei 1899.

Kemudian Kartini juga membaca Moderne Vrouwen yang diterjemahkan oleh Jeannete van Riemsdijk dari buku Prancis. Namun, Kartini tak menyukai buku ini, karenanya ia kembali ke Hilda. "Sekarang kami akan melakukan sesuatu ala Hilda van Suylenburg: seorang ibu dengan bayi dalam gendongan pergi bekerja," tulis Kartini 8 Juni 1904.

Sejak kecil, cukup banyak buku yang dibaca Kartini, tak terkecuali Buddhisme karya Fielding dan biografi Ramabai, ketika ia masih bersekolah. Ramabai belum menikah kertika berusia 22 tahun.

Saat masih sekolah rendah, Kardinah bercerita di buku Tiga Saudara ada banyak kegiatan yang dilakukan Kartini, seperti belajar memasak, menjahit, membatik, yang bisa mengganggu konsentrasi belajar di sekolah. Di masa pungitan dan sesudahnya, ia mempunyai banyak waktu untuk membaca. Buku yang tak pernah dibaca Kartini justru Door Duisternis tot Licht, buku kumpulan surat-suratnya yang terbit pada 1911.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement