Selasa 16 Jul 2019 05:56 WIB

Menyingkap Misteri Gong Bolong, Ikon Kota Depok

Gong berlubang itu muncul cara yang misterius

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Karta Raharja Ucu
Tugu Gong Si Bolong
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Tugu Gong Si Bolong

Buang Jayadi tampak gundah. Lelaki itu baru menunaikan Shalat Zhuhur ketika saya bertamu ke rumahnya.

“Anak muda semakin sedikit yang tertarik dengan kesenian daerah,” keluh penggiat Sanggar Kesenian Gong Si Bolong di Jalan Tanah Baru Nomor 9, Kelurahan Tanah Baru, Kota Depok, Jawa Barat belum lama ini.

 

Ia hanya mengenakan kaos oblong, bersarung, dan memakai kopiah. “Budaya luar sudah menggerus minat pemuda terhadap warisan budaya alat musik Gong Si Bolong,” katanya.

 

Buang dikenal sebagai generasi ketujuh dari penemu kesenian Gong Si Bolong. Ia mengaku tak pernah berpikir bakal menggeluti dunia seni tradisional. Namun, karena pendahulunya mangkat dan mewariskan alat musik itu kepadanya, ia tak bisa menolak.

Padahal, ia tidak pernah diajari untuk memainkan alat musik yang menjadi bagian Gong Si Bolong. “Saya bisa memainkan berbagai alat karena dulu sering melihat saja,” katanya.

 

Bahkan, sejak 2007, ia diangkat sebagai pimpinan Yayasan Gong Si Bolong. Ia harus merelakan sebagian rumahnya untuk dijadikan sanggar meski dengan luas terbatas sekitar 3x5 meter. Di tempat itu, ia meletakkan berbagai peralatan musik tradisional yang biasanya digunakan latihan sepekan sekali.

 

Menjaga amanat

Buang mengemukakan asal mula Gong Si Bolong. Pada suatu malam di area persawahan yang dialiri air terjun di Sungai Krukut, Kampung Curug, Tanah Baru, seorang tokoh agama setempat, Jimin, dikejutkan bunyi suara gamelan. Setelah dilakukan penelusuran, Jimin mendapati seperangkat gamelan yang tertimbun di tanah dengan susunan rapi.

Karena merasa takjub dengan seperangkat alat musik tradisional itu, ia membawa pulang ke rumahnya. Jimin berani membawa pulang gamelan yang terdiri atas gong dan gendang —kemudian diberi nama Si Gledek dan Bende— itu lantaran yakin tak ada pemiliknya. Dalam perjalanannya, Jimin terus merawat gong yang memiliki lubang (bolong) di tengahnya hingga tertarik untuk memainkannya.

Sepeninggal Jimin, alat musik itu berpindah tangan ke Anim, selaku generasi kedua yang kemudian menyebut alat musik tersebut Gong Si Bolong. Begitulah silsilah keluarga ini menurunkan kreativitas dalam menjaga dan memainkan gong, gamelan, kendang, dan ketipung itu.

 

Pada awalnya Buang tidak pernah berpikir bakal mendapatkan amanah untuk merawat warisan Gong Si Bolong dari generasi keenam, Bahrudin. Namun, proses regenerasi yang ditentukan alam lantaran setiap leluhur yang meninggal selalu mewasiatkan kepada anak kandungnya, membuatnya mendapatkan amanah itu.

 

Tanggung jawab pribadi mendorong Buang menekuni alat musik khas Depok ini.

Ia mengatakan kesenian Gong Si Bolong memerlukan setidaknya 13 orang setiap kali pentas. Sekali tampil, ia bisa mendapat bayaran Rp 6 juta atau bisa jauh di atas angka itu, tergantung siapa yang mengundang. Bayaran ini dibagi rata setiap pemain yang terlibat pementasan.

 

Biasanya, selain menampilkan tarian jaipong, juga bisa dipadu dengan wayang kulit, wayang betawi, ataupun wayang golek. Hal itu dilakukan sesuai tema penampilan agar penonton tidak bosan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement